Ketika pertama kali membaca Ecstasy Gaya Hidup Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (Mizan, Bandung, 1997), saya disadarkan bahwa tidak setiap buku itu sama. Ada beda yang sebenarnya mencolok tapi sering luput pada diri pembaca.
Buku, betapa pun bagusnya, adalah suatu produk yang dihasilkan manusia. Tentu saja, tidak termasuk kitab suci Al-Qur’an, Injil, Zabur, dan Taurat Musa. Sebagai suatu produk, buku dapat digolongkan ke dalam produk bermutu dan produk tidak bermutu.
Biasanya, produk-produk tidak bermutu mengalami proses pendangkalan ketika diproduksi. Pendangkalan yang dimaksud dapat muncul dalam makna yang dikandung atau proses pengadaan itu sendiri. Dari itu semua, kita melihat ada buku-buku yang terkategori sebagai buku produk budaya massal.
AURA SUATU BUKU
Dalam buku-buku kategori itu, meski kita bisa larut di dalamnya, identitas kita tidak mengalami penguatan. Kita tidak tercerahkan. Dalam artian lain, kita tidak mendapatkan suatu pengalaman bermakna yang dapat kita pakai sebagai bahan refleksi. Diri-diri menjadi seseorang tanpa kepribadian dan sudah pasti lompong.
Buku-buku produk budaya massal biasanya tidak memiliki aura yang kuat. Ini sebagaimana dikatakan Katherina dalam Libri di Luca. Ia, sebagai seorang perempuan muda dan buta huruf, dapat menegaskan bahwa buku-buku seperti buku Servantes, Frans Kafka, Soren Kiekegaard memiliki kekuatan yang dapat menarik seseorang. Buku-buku itu seperti seseorang yang berkepribadian, tegas, memiliki
... Baca Selengkapnya