Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang diberikan oleh UUD 1945 kepada Komisi Yudisial (KY) untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim Agung kepada DPR, menjaga harkat dan keluhuran
hakim, serta mengawasi perilaku hakim ternyata belum dirasa cukup oleh KY. Sekalipun KY belum mampu melaksanakan Tupoksi tersebut secara optimal, KY justru ingin melakukan ekspansi
hingga “merambah” wewenang Mahkamah Agung (MA) menyangkut teknis perkara dan teknis administrasi peradilan. Hal itu terbukti dengan berbagai putusan hakim yang selalu dikomentarinya, termasuk kewenangan MA yang lain seperti dalam penerimaan Calon Hakim. Bagaimana KY berusaha “membonsai” kewenangan lain yang dimiliki oleh MA telah diuraikan secara detail dan solusi
terbaiknya dibeberkan dalam buku PANDANGAN KRITIS SEORANG HAKIM dalam Penegakan Hukum di Indonesia 2 ini. KY yang seharusnya mengangkat harkat dan martabat serta keluhuran nama baik hakim, justru sebaliknya meruntuhkan wibawa peradilan dengan mencari-cari kesalahan putusan hakim seperti yang dialami Hakim Sarpin Rizaldi dan Hakim Haswandi. Pokoknya KY yang mirip seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah dibahas secara tuntas dalam buku ini. Terkait dengan hal itu, Penulis mengusulkan kepada MPR, Presiden-DPR, agar kedudukan
KY “dipangkas dari UUD 1945”dan kedudukan KY cukup diatur dalam UU seperti halnya KPK yang hanya diatur dalam UU. Sangat “aneh” jika sebuah Komisi dijadikan sebagai Lembaga Negara.
Sambil menunggu amandemen ke-5 UUD 1945, ke depan (di akhir masa jabatan Komisioner KY tahun 2015) jabatan Ketua KY hendaknya dirangkap secara ex-officio (secara terpisah) oleh Ketua
MA sehingga tercipta harmonisasi pengawasan terhadap hakim antara MA – KY, sebagaimana yang telah ditelaah dalam buku ini. Selain itu, problematika dan solusi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia; bagaimana seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertindak secara profesional; usulan Kepala Polri atau Kejagung merangkap secara ex-officio sebagai Ketua KPK; dan masih banyak topik menarik serta aktual lainnya dikupas secara mendalam dalam buku ini. Yang paling menarik dan unik, Penulis telah mengkaji antara “Peradilan Negara dan Peradilan Tuhan”. Selain itu, untuk mengenal penulis lebih jauh, dalam buku ini para pembaca dapat mengetahui sosok Penulis Dr. Binsar M. Gultom, S.H, S.E, M.H., yang memiliki Motto hidup: “LEBIH BAIK GAGAL DARIPADA TIDAK PERNAH MENCOBA”, karena “kegagalan” merupakan “kesuksesan yang tertunda”.