Lyn merindukan tawa Kay yang dulu. Ringan dan bebas, walau seringkali diiringi air mata cengeng. Tawa yang hilang setelah kematian ibuku. Setelah itu, Kay tinggal bersama keluarga Lyn selama tujuh tahun. Kondisi itu ternyata tidak cukup untuk membuat Kay percaya sepenuhnya pada Lyn.
Sikap Kay yang pesimistis berbanding terbalik dengan Lyn yang ceria. Bahkan ketika Lyn membicarakan tentang kesukaan akan langit dan olahraga lari membuat Kay semakin menutup diri. Meski menyukai musik klasik dan bermain piano, Kay tidak berani menjadikan itu mimpinya, apalagi jika harus mendaftar di universitas musik setelah lulus SMA.
Akankah kehadiran orang-orang dalam hidup Kay dan Lyn membuat mereka menyadari perasaan masing-masing? Atau justru semakin membuat mereka menjauh?