Bagaimana cara kita keluar dari kebisingan emosi yang mengusik jiwa dan menemukan pusat hati kita? Sering kali, kita tidak bisa menganalisis apakah perasaan yang kita miliki itu baik atau buruk. Meskipun begitu, kita sangat terobsesi untuk menyingkirkannya. Obsesi itu menjadi penjara tersendiri dan mengikat kita. Sebab kenyataannya, sangat sulit untuk mengakui keberadaan perasaan yang terus-menerus mengganggu kita. Akan tetapi, apakah kita harus memperlakukan perasaan kita seperti benda asing yang patut diabaikan? Apakah perasaan yang kita abaikan akan berlalu pergi seiring berjalannya waktu? Sepanjang pengalamannya sebagai konselor karier, Woogwan Jo telah banyak membantu klien dan relasi yang tersesat dalam memahami seluk-beluk dan kemelut emosi. Dalam buku ini, dia mengemukakan bahwa emosi adalah hal yang independen dan sulit diatur. Itu sebabnya kita sering kewalahan dalam mengontrol emosi kita. Salah satu cara pamungkas untuk mengelola emosi adalah dengan merangkul dan memahami keberadaannya. Untuk itu, dia menawarkan solusi agar kita bisa menjadi sosok pengamat dan perawat bagi emosi yang kita miliki. Sebab percayalah, satu-satunya sosok yang bisa mengayomi gejolak emosi kita adalah diri kita sendiri. Prolog: Membenci diri sendiri dan mengasihani diri sendiri. Perasaan yang didefinisikan dalam dua hal itu sama sekali tidak mirip. Membenci dan mengasihi dianggap sebagai perasaan yang berada pada kutub yang berbeda. Namun, ada fakta yang diabaikan. Membenci dan mengasihani diri sendiri adalah keadaan yang melekat pada diri Anda sehingga bisa menjadi obsesi. Jika Anda memperhatikan diri sendiri terlalu lama, Anda akan jatuh ke dalam jurang di mana Anda terlalu mencintai atau terlalu membenci diri sendiri. Sebelum kita mengenal orang lain lebih dalam, kita berpikir seberapa banyak kita bisa mencintai orang itu, dan jika mengenalnya lebih jauh, itu seperti membuat hubungan cinta di mana kita mencintai sekaligus membenci orang tersebut.