Aku mulai mempertanyakan kewarasanku ketika kudengar dering telepon di tengah-tengah pasar malam.

Sulit untuk menjelaskan bagaimana aku bisa sampai kemari. Kuduga, satu-satunya hal yang menyeret langkahku adalah dering telepon itu. Tapi, bagaimana mungkin ada dering telepon di tengah pasar malam? Langkahku mengayun sampai kusadari bahwa diriku sudah cukup jauh meninggalkan pasar malam. Setelah melewati pagar kayu setinggi pinggang, di hadapanku terhampar sebuah padang rumput luas yang di tengahnya terdapat tenda raksasa dengan corak garis berwarna merah putih.

Merasa sayang untuk bergegas tanpa mencari tahu apa yang sedang berlangsung di dalam, maka tirai putih yang memisahkanku dengan arena sirkus itu nekat kusingkap.

Sirkus yang kutahu selalu menyajikan tingkah konyol gajah dengan bola warna-warni, singa-singa yang telah dijinakkan, atau aksi seseorang berjalan di atas tali dan menembus lingkaran api. Kali ini, aku menyaksikan sirkus yang dilakoni oleh wajah-wajah yang mempertontonkan kesedihan. Satu per satu mereka naik keatas panggung dan bercerita.

Entah bagaimana, di saku jaketku tiba-tiba terdapat nomor giliran.

Sirkus merupakan kumpulan cerita tentang menemukan rasa nyaman di antara kerumunan orang, terutama ketika kamu merasa kamu “berbeda”. Dituliskan dengan bahasa yang lugas, dan mudah dimengerti. Buku ini merupakan buku perdana Abi Ardianda, setelah sebelumnya mengeluarkan Sirkus dalam bentuk digital. Abi cukup aktif di komunitas penulis, CSW Bandung.