“Sejarah yang mati ditulis dalam tinta, mereka yang hidup dipilah dalam darah.”

—RODERICK HARLAW

Seorang pewaris muda mengerahkan bala tentara untuk mengambil alih takhta. Mendengar kematian sang ayah, pemuda itu—gagah, karismatik, dan keturunan dari raja-raja lama Utara—bersumpah untuk membalaskan kematiannya dalam perang.

Meskipun masih belia, dia telah memenangkan beberapa pertempuran dan mendapatkan kesetiaan dari banyak klan terkemuka di kerajaan; dalam perang ini dia didukung oleh sang ibu; yang telah mengamankan dua putranya yang lebih muda.

Cerita ini terasa akrab bagi penggemar serial A Song of Ice and Fire karya George R.R. Martin, dan adaptasi televisi HBO-nya Game of Thrones, tapi ini bukan kisah mengenai Westeros; melainkan dunia nyata Inggris tahun 1461. Pertempuran paling mematikan yang pernah berlangsung di tanah Britania di lokasi yang kini disebut Bloody Meadow di Yorkshire, jauh di pedalaman yang dulunya wilayah kerajaan kuno utara.

Serial novel laris yang ditulis George RR Martin ini penuh dengan sejarah, sindiran, dan inspirasi yang menjadi salinan nyata dari berbagai peristiwa dan peradaban yang pernah terjadi di dunia. Pernikahan Merah? Berdasarkan peristiwa aktual dalam sejarah Skotlandia. Keracunan Joffrey Baratheon? Serupa dengan kematian cucu William Sang Penakluk. Bangsa Dothraki? Juga dikenal sebagai bangsa Hun, Magyar, Turki, dan Mongol. Ed West meneliti secara detail kronik sejarah yang menjadi landasan dalam mengembangkan serial ini. Ia bahkan memaparkan fakta-fakta tak terungkap yang selama ini jarang dibahas oleh media dan penikmat umum serial ini. Jika Anda adalah fans fanatik konflik perebutan takhta di Westeros, membaca buku ini akan membuat Anda jadi lebih memahami setiap persengketaan yang terjadi. Sebaliknya, jika Anda baru berpikir untuk ikut menjadi bagian dari fandom Game of Thrones, buku ini bisa jadi pijakan awal untuk memahami bahwa kebenaran kadang lebih aneh daripada fiksi.