Kedatangan orang asing memang tidak selamanya menyemarakkan nuansa prikehidupan dan bernegara di Indonesia. Sudah letih bangsa ini selalu menjadi ladang perbudakan dan penjajahan. Memang Belanda dan Jepang sudah pergi dari pertiwi, dan kapal-kapal perang besar sudah tidak berada lagi di peraiaran Indonesia, namun hasil alam kita masih saja jatuh ke tangan orang asing dengan dalih investasi. Buku ini mengupas kekayaan alam Indonesia yang tidak dimiliki lagi untuk bangsanya. Dari mulai Papua, Blok Cepu, hingga Gas Alama Arun, termasuk banyak lagi. Sekelompok konsorsium asing manakah yang mendapat “kue empuk” itu? Temukan jawabannya dalam buku ini—Buku yang patut diwariskan kepada anak-anak muda dan generasi mendatang yang benar-benar nasionalis.
****
“Buku ini menyajikan fakta yang mencengangkan. Kekayaan dan potensi negara yang berlimpah dan selalu kita banggakan ternyata lebih banyak dinikmati bangsa asing.”
—SINDO
“Lewat riset dan kompilasi datanya yang mumpuni, buku ini membuka wajah asli perekonomian Indonesia sekaligus menunjukkan kebijakan ekonomi yang mesti diawasi agar tak jadi miskin di negeri sendiri.”
—Oktamandjaya Wiguna, Wartawan Koran Tempo
“Malu kita sebagai bangsa yang bermartabat selalu di bawah cengkeraman asing. Bukan bangsa Indonesia jika tidak bisa melawan kolonialisme gaya baru berkedok pembangunan ekonomi. Untuk masa depan yang lebih baik, bangsa ini butuh pemimpin yang mampu menegakkan kemandirian.”
—Tri Soekarno Agung, mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Online
Lahir di Jakarta, 6 September 1964. Setamat dari SMA Negeri 6 Jakarta, ia melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum, UKI Jakarta, dan meraih gelar kesarjanaan pada 1988. Setelah itu, sempat mendirikan LKHI (Lembaga Konsultasi Hukum Indonesia). Memasuki dunia jurnalistik pada tahun 1990 sebagai wartawan di tabloid Monitor (Gramedia), pada tahun 1991 ia bekerja di tabloid Bintang Indonesia. Dunia ekonomi mulai dikenal setelah menjadi Redaktur di majalah ekonomi Prospek, 1995-1996. Sedangkan dunia perkotaan (metropolitan) mulai diselami sejak menjadi Redaktur di surat kabar harian metro Berita Yudha (manajemen baru non-ABRI), awal Januari 1996, kemudian kembali ke dunia ekonomi dengan menjadi Redaktur di majalah ekonomi Prospek (Jawa Pos Group), 1997-1998. Puncak karier jurnalistik dia raih setelah menjadi Redaktur Pelaksana yang tak lama kemudian sebgai Pemimpin Redaksi Tabloid hukum dan HAM BK (Berita Keadilan), di bawah Jawa Pos Group, pada tanggal 1998-2000. Setelah itu, ia aktif mengelola perusahaan di bawah bendera Wartapena Communication.