Sungguh! Ibu cuma dapat melambai. Dibawa arus gelombang mahabesar. Tangannya yang satu lagi mendekap kitab suci, seperti menjaga nyawanya sendiri. Ibu terus menjauh, tetapi ia tetap melambai. Sedari tadi Ibu hendak menggamit dan menarikkutepatnya menyelamatkan akudari arus air yang datang tiba-tiba. Ahad pagi yang damaiu berubah menjadi gaduh. Terdengar di mana-mana suara minta tolong dan nama Tuhan dipanggil berulang-ulang...
Kekuatan manusia dalam menghadapi rintangan hidup memang masih saja mengejutkan dan menarik untuk dikisahkan. Inilah benang merah yang mengaitkan kesebelas cerpen karya Isbedy kali ini. Bencana, kematian, dan penderitaan boleh terus datang menyambangi manusia, namun cinta terhadap sesama dan kepada Tuhannya, membuat manusia tetap mampu bertahan. Dikemas dengan apik dalam bingkai pernikahan, keluarga, dan persahabatan, cerpen-cerpen dalam buku ini menjadi begitu kaya makna di dalam kesederhanannya.
Energi Isbedy tidak dihamburkan dengan memilih kata yang selalu manis dan rumit. Justru sebaliknya, dimanfaatkannya energi itu untuk membuat semuanya kembali pada keseharian. Di tengah lautan yang serba ingin berbeda, yang melanda dunia sastra kita saat ini, percayalah menjadi sehari-hari adalah sesuatu yang tidak mudah.
Yanusa Nugroho
Lahir di Tanjungkarang, Lampung pada 5 Juni 1968 dan hingga kini masih menetap di kota itu. Putra keempat dari delapan bersaudara pasangan Zakiri Senet (alm) bersuku Bengkulu dan Ratminah (Winduaji, Sindanglaut, Cirebon). Ayah dari lima anak buah perkawinan dengan Adibah Jalili. Dipercaya sebagai pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung dan Ketua Program Dewan Kesenian Lampung (DKL) periode 2005 - 2008.