Semua prajurit di situ takkan menyangka untuk peristiwa itu.
Hari itu, 23 Maret 1945, jenderal mereka tenang-berjalan ke jembatan yang mereka bangun guna menyebrangi sungai Rhine, Jerman. Tiba-tiba ia berhenti di tengah jembatan, menghadap sungai. Dan semua menyaksikan dengan mata-kepala sendiri: jenderal mereka kencing!
Kemenangan sudah di tangan, begitu pikir si jenderal. Makanya, sengaja ia menahan diri untuk tak buang air kecil selepas bangun tidur di hari itu semata-mata untuk melakukan “momen” tersebut. Di depan anak-anak buahnya, tentu. Bakal diambilgambarnya, ia tahu. “Saya sudah lama menunggu untuk melakukan hal ini. Yah…buang air yang menyegarkan sekali.’, tenang si jenderal berkata.
Kemenangan dalam perang, betapa pun, pantas dirayakan. Dan macam-macam bentuknya. Sebab perang terdiri dari rentetan-rentetan usaha yang tak-sedikit. Untuk meraih kemenangan di dalamnya, butuh biaya mahal. Dana, tenaga, dan jiwa itu sendiri. Karena itu, si jenderal layak buang air kecil di sungai itu—sebuah sungai di negeri musuh dalam perangnya itu. Pikir-pikir, bisa jadi kita, justru (maaf!) berak di sana—di atas jembatan itu—ketika tahu bahwa apa yang kita korbankan tak percuma demi meraih kemenangan.
Perang, di mana-mana, selalu ditampilkan dengan wajahnya yang pongah. Pongah, karena dalam perang ada darah, ada kematian. Dalam perang ada ledak tawa, juga ratap tangis. Seperti sudah jamak, yang selalu muncul dari
... Baca Selengkapnya