Pada suatu waktu entah kapan, seorang lelaki tua pencari rotan bertemu dengan seorang perempuan di tengah hutan. Perempuan muda berkulit halus, wajahnya terang bagai bercahaya, akan tetapi matanya buta. Perempuan itu tersenyum, menyentuhnya, dan bertanya, "PAk Tua, ceritakanlah padaku tentang warna." "Ia buta... ya, memang buta, tapi seolah mampu melihat apa pun. Ia bisa mengira umurku dan memanggil 'Pak Tua' hanya dari helaan napas dan langkahmu."."Tapi ia menanyakan warna." "Ia buka, kataku! Persoalan terbesar bagi seorang buta bukanlah memang adalah warna?"."Bagaimana Bapak lantas menerangkannya?". "Tidak bisa! Aku... tidak dapat mengatakan apa-apa." Wajah si Tua tiba-tiba mengerut. Ia tampak seperti sedih. Seperti menyesal. "Kita tak pernah berpikir, atau menganggap penting, hal-hal yang dapat dengan langsung bisa kita lihat." Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh si perempuan buta membuat orang-orang merasa bodoh dan dungu. Mereka tiba-tiba merasa bagai menjelma jadi buta, lebih dari perempuan itu sendiri. Mereka merasa sia-sia memiliki mata. Mereka... merasa malu.
Gus tf Sakai, lahir pada tanggal 13 Agustus 1965 di Payakumbuh Sumatera Barat. Ia menamatkan studinya di Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. Mulai menulis prosa pada usia 13 tahun sejak sebuah cerpennya memenangkan hadiah pertama pada sebuah lomba penulisan cerpen. Hingga sekarang ia telah menyelesaikan 2 novel, 7 novelet, dan 18 cerpennya memperoleh penghargaan yang diselenggarakan oleh berbagai media seperti majalah Anita, Femina, Gadis, Hai, Kartini, Matra dan harian Kompas. Dua bukunya yang diterbitkan oleh Gramedia berjudul Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999) dan Tiga Cinta, ibu (2002)