Juli 2005 lalu, sebuah buku terbit—judulnya Elang Retak. Ditulis oleh Gus Ballon, buku ini menceritakan tentang operasi sebuah pasukan Angkatan Darat TNI di pulau tak bertuan, dekat samudera Pasifik. Pada mulanya, seperti buku-buku baru lain, rasa-rasanya tak ada beda. Tapi ada yang mengusik. Sebuah kalimat terpampang menggelitik di sampul depan: "Mati bukan masalah, hidup itulah persoalan."
Itulah kalimat yang pas untuk melukiskan kesan yang saya dapat setelah membaca Musashi. Seluruh apa yang dibicarakan dan dipertanyakan Musashi dalam pengembaraan spiritualnya terangkum padat dalam kalimat itu. "Mati bukan masalah. Hidup itulah persoalan." Ada sebuah nada aneh, dan akan mengendan di dalam benak bila memikirkan seuntai kalimat itu berulang-ulang. Bukankah antara mati dengan hidup seperti hanya terpisah oleh selembar tipis kulit bawang?
Sudahlah. Yang jelas, Musashi sendiri diceritakan, memang baru belakangan menyadarinya. Tapi baginya (dan saya kira penulisnya juga), mati tak ada guna sekiranya hidup diobral begitu murah. Yang penting adalah apa yang mesti dilakukan dalam dan/atau untuk hidup. Dan Takuan Soho pernah menandaskan, bila hidup kita anggap murah, maka mati pun percuma.
Musashi adalah seorang samurai yang dilahirkan di Miyamoto, Propinsi Mimasaka pada akhir abad XVI Masehi. Kala itu, Jepang adalah wilayah kepulauan tempat berlangsungnya pertikaian antara dua kelompok besar samurai dalam merebut kekuasaan untuk
... Baca Selengkapnya