Lewat salah satu sajaknya, kita bisa tahu bahwa Chairil Anwar kagum pada orang-orang yang berani melewati malam, pergi menuju ketidakpastian yang ada di luar rumah pada malam hari, ketika jam malam ditabuhkan tentara-tentara pendudukan. Waktu itu, tentara Belanda mencoba untuk kembali menguasai Indonesia yang baru saja merdeka.
“Aku suka pada mereka yang berani hidup,” tulis Chairil Anwar. “Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam,” sebab kegelapan dapat menyembunyikan segala sesuatu, termasuk maut yang berdiam di moncong bedil orang-orang bersenjata. Kita bayangkan, ratusan orang berkeliaran tanpa suara dan hendak mencari suara-suara mencurigakan. Mereka saling mengintai dan mengancam.
Bagi mereka yang pernah membaca Larasati Pramoedya Ananta Toer, pasti tahu lukisan kecamuk yang hadir pada waktu itu. Demikian pula dengan Di Tepian Kali Bekasi penulis yang sama, pasti ingat, betapa tokoh Farid memberontak dari ayahnya hanya untuk “menemui malam” seraya sadar bahwa kematian memperhatikannya mudah. Atau pada kisah dalam Tak Ada Hari Esok Mochtar Loebis, kita menyaksikan tentang “malam” itu, meski dalam penggalan-penggalan pendek.
Tetapi mereka yang tahu tentang takdir pasti jauh lebih bijak. Bahkan dalam keadaan perang sekalipun, nasib ternyata sudah ditentukan. Manusia hanya berusaha, sebab, toh, setiap peluru yang meluncur lepas sudah memiliki nama-nama korbannya. Dan ketika mati, manusia pun pasti akan berfilosofi:
... Baca Selengkapnya
0 dari 1 orang berpendapat bahwa ini bermanfaat,
Apakah review ini bermanfaat bagi Anda?