Bisakah rasa kangen diurungkan atau setidaknya ditangguhkan?
Begitu terlintas kata Yogya di tirai benaknya, hasrat hati Gayuh kontan menggembung untuk sesegera mungkin pulang, pulaaang, pulaaaaaaang! Ya, ini sebentuk ikatan batin antara Gayuh dan Yogya. Bukan hanya hasrat gelombang hati lelaki itu yang kangen pulang, barangkali juga kota itu seolah ingin
selalu dia sapa, sambangi, dan akrabi dengan hangat. Ada timbal-balik antara kota dan manusianya.
Buat Gayuh, Yogya itu tempat lahir yang abadi. Hubungan itu tidak akan pernah hilang sampai kapan pun. Tak pula tergantikan. Maka, bagi Gayuh, pulang ke Yogya merupakan sentimental journey.
“Di Yogya, bolehlah aku numpang bahagia,” gumam
Gayuh, dalam-dalam.
Lahir di Yogyakarta, 28 Mei 1958. Selepas dari SMAk Kolese de Britto tahun 1977, Herry melanjutkan pendidikan di IKIP Sanata Dharma dan lulus sebagai sarjana Pendidikan dan Satra Inggris tahun 1982. Ia sempat menjadi guru bahasa inggris selama setahun si SMAK Stella Duce, Yogyakarta. Bungsu dari tujuh bersaudara ini kemudian hijrah ke jakarta dan bekerja sebagai editor penerbitan buku PT Gaya Favorit Press (Femina Group) hingga 1990. Selanjutnya, ia bergabung menjadi wartawan tabloid Nova selama dua tahun, hingga 1992. Lalu sejak tahun 1993 sampai sekarang, ia mencurahkan perhatinnya ke dunia anak-anak dengan menjadi redaksi majalah Bobo. Di celah-celah kesibukkan menulis buku, Herry tetap berusaha menulis rupa-rupa artikel, juga cerita pendek di sejumlah koran, tabloid, dan majalah yang terbit di Ibukota maupun daerah. Penulis yang (memang) bertubuh subur ini punya semboyan hidup yang unik: daripada mencelakakan orang lain, lebih baik menertawakan kekonyolan sendiri.