Jakarta bertabur gedung dan hiburan. Suasana yang hangat dan tawa di setiap sudut kota menyemarakkan hidup di kota yang sibuk ini. Tidak hanya Jakarta, di Tangerang yang tidak jauh dari situ hiduplah seorang wanita tangguh dengan senyum mengembang di bibir setiap saat yang mengisyaratkan kepada kita bahwa ia adalah sosok yang rendah hati. Dia adalah Hartini. Hartini lahir di Indramayu. Ia mengalami pahit manis kehidupan sejak ia masih muda. Di umur 19 tahun ia telah memberanikan diri pergi berjibaku sebagai tenaga kerja di Arab. Hartini berkali-kali merasakan kawin cerai hingga akhirnya salah satu dari suami yang dinikahinya memberikan sesuatu yang melekat selamanya di tubuhnya, yaitu HIV. Pada 2007, ia kehilangan anak ketiganya pada usia 9 bulan. Dokter mendiagnosis, bayi Hartini mengidap HIV. Suaminya berkilah, jarum suntiklah yang memberikan penyakit pada anaknya. Setelah peristiwa tersebut, Hartini merasakan ada yang salah pada tubuhnya. Daya tahannya makin menurun dan terus menurun. Hartini Memoar Seorang Perempuan dengan HIV berkisah tentang perjuangan wanita penyumbang statistik fase gelombang ketiga penularan HIV, yakni fase penularan virus itu melalui hubungan heteroseksual. Dari suami ke istri. Diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga, keberanian membuka status, hingga kekuatan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) untuk membina rumah tangga dan memiliki keturunan adalah pengisi buku harian Hartini. Buku ini mencatat semua itu secara apik.