Buku catatan perjalanan yang hanya berisi keindahan tempat wisata dan foto narsis penulis? Basi!Fatris MF bukan petualang egoistis yang jalan-jalan sekadar untuk memuaskan mata.Namun, dia dating ke suatu tempat, menggali sejarahnya, dan berbaur dalam keseharian masyarakat adat.
“Di tengah pemandangan yang indah memesona, ternyata ada derita manusia yang ditanggungnya,” tulis Fatris yang catatan perjalanan-nya sering dimuat di berbagai media massa itu.
Kenyataan hidup manusia di tempat-tempat yang dikunjunginya me-nawarkan eksotisme lain ketimbang hanya keelokan pemandangan alam dan keunikan budaya. Catatan perjalanan ini terasa lebih kritis, tetapi tidak kehilangan selera humor.“Dalamuma saya makan, minum kopi, mengobrol, tertawa-tawa, me-nertawai ketololan diri masing-masing,” tulis Fatris yang mengenang keakrabannya bersama seorang sikerei, semacam dukun di Mentawai.
Dengan gaya tutur sastra lisan khas Melayu, Fatris mampu meng-hanyutkan pembaca mengikuti petualangannya di Dataran Tinggi Gayo di Aceh, pulau-pulau telantar di dekat Singapura, dan tempat-tempat lain di tanah Swarnadwipa, Sumatra. Sungguh, buku catatan perjalanan ini asyik sekaligus mengusik.“Sebagai travel writer, Fatris memiliki kemampuan teleportasi imajinasi: memindahkan pikiran kita ketempat yang ditulisnya, membuat kita seakan terlempar kelokasi kejadian. Tulisan (tentang) Mentawai, bagisaya, adalah bintang yang bersinar paling terang dalam buku ini.” -- Cristian Rahadiansyah, Pemimpin Redaksi Destin Asian Indonesia