Kadang hidup dipercaya tak pernah benar-benar berakhir dengan kematian. Ia berputar seperti roda dengan karmanya yang tak bisa ditolak oleh manusia. Kadang seorang manusia terlahir menjadi anak nelayan, menitis menjadi penjudi, lalu menjelma seorang gigolo. Kadang berayah seorang nelayan, kadang beribu seorang pelacur. Sebuah rantai yang tak putus. Suatu lingkaran yang digugat oleh penulis kumpulan cerpen.Kau beri aku kembaran tanpa dagau kekal.
Aku ulang-alik, berpindah dari satu ke lain tubuh. Seperti burung-burung yang diusir musim dingin. Pintu rahim siapa mesti kuketuk lagi, demi ruh yang tak henti mengembara. Aku letih menyusuri garis edarku sendiri. Aku bukan matahari, bukan bulan, bukan bumi. Aku noktah pada hamparan semestaMu. Bila aku mengakui adaMU, apa harus aku mempercayaiMu?Bila Kau titiskan aku lagi, beri aku sebilah klewang berkilau dan kuda putih. Aku hanya sudi menjelma ketika usia bumu merapat tua. Itulah akhir titahMu, akhir kembaranku. itulah saat aku mengukur umurku sendiri, mengumpulkan remah-remah karma.
Akrab di sapa Jengki, lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Menyelesaikan studi Antropologi di Fakultas Sastra Universitas Udayana, tahun 2000. Sempat mencicipi kuliah seni rupa di ISI Denpasar (2002-2003).Selain cerpen, mantan anggota Sanggar Minum Kopi Bali ini, juga menulis puisi, feature, esai, artikel, ulasan/kritik seni rupa. Tahun 2001 sebuah cerpennya masuk "Sepuluh Cerpen Terbaik" lomba penulisan cerpen nasional Harian Bali Post, dibukukan dalam Obituari Bagi Yang Tak Mati(Pustaka Bali Post,2002). Tahun 2003, cerpennya masuk nominasi "Krakatau Award" lomba penulisan cerpen nasional Dewan Kesenian Lampung Tahun 2004, cerpennya yang berjudul Cakra Punarbhawa masuk "Cerpen Pilihan Kompas 2004", dihimpun dalam Sepi pun Menari di Tepi Hari (Buku Kompas, 2004); dan meraih penghargaan "Cerpen Terbaik Kompas versi Sastrawan Yogyakarta."