keindahan & kesedihan berdampingan bagai sepasang sandal ditinggalkan entah siapa di pantai yang lengang. mereka tidak mengejutkan kita. itulah kehidupan paling alami bagi kita akhir- akhir ini. kau melihat rimbunan semak di tepi jalan & kau berpikir: andaikan kesedihan bisa dilepaskan seperti kulit ular. kadang-kadang: kau langit biru, aku cuaca buruk; kau ranting hanyut di batang air, aku kelereng berkilau di taman. kadang-kadang: kita segala sesuatu yang bukan kita.
tubuhku merindukan tubuh
tubuhku merindukan tubuh yang pensiun mengukur panjang bidang di antara kehilangan kemauan & kehilangan ketidakmauan,
tubuh yang tidak terombang-ambing bimbang di antara hal-hal yang diri kita lakukan di dalam kegelapan & hal-hal yang dilakukan kegelapan di dalam diri kita;
pengeras suara yang melontarkan batu-batu api dari leher tercekik;
kata-kata yang tidak mati sehabis bercahaya di mata pembaca, nama-nama yang tetap berdenyut setelah berabad-abad dilupakan;
akar & ranting lentur menuju kebebasan paling mekar—
lebih sekarang daripada sekarang, lebih segera daripada segera;
masa depan yang menghancurkan masa kini demi menciptakan ulang masa lalu
yang belum pernah terjadi;
Profil Penulis:
M. Aan Mansyur berdomisili di Maros, Sulawesi Selatan. Buku-bukunya antara lain: Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Melihat Api Bekerja (2015), Tidak Ada New York Hari Ini (2016), Cinta yang Marah (2017), Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu (2021), dan Memasihkan yang Pernah (2023). Pada 2021, buku puisinya, 0Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau (2020), menerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa dan Anugerah Sastra Kemendikbudristek.