Jika kamu melihat seorang nenek di halte berwarna merah, mampirlah. Halte itu akan mempertemukanmu dengan orang terkasih yang sudah tiada. Julian, seorang jurnalis muda, menerima surat-surat tentang si nenek dan halte misterius itu saat hendak mengisi rubrik Kisah Pembaca. Karena penasaran, Julian mulai menyelidiki keberadaan halte tersebut---Halte Alam Baka, begitu dia menamainya.
Liputan Halte ALam Baka langsung viral. Banyak yang ingin melihat halte itu, meski banyak juga yang sangsi. Siapa sebenarnya si nenek? Tempat apa sebetulnya halte itu? Kenapa nenek itu selalu meninggalkan hadiah barang rajutan? Tanpa diduga, penyelidikan Julian malah mempertemukannya dengan orang-orang yang berkaitan dengan masa lalu dan masa depannya; orang-orang yang dia pikir sudah tiada...
Prolog:
Julian membuka mulutnya dan menguap lebar-lebar. Anak lidahnya sampai terlihat. Lima, dia menghitung dalam hati. Ini sudah kuapku yang kelima dalam tiga puluh menit terakhir. Firasatnya mengatakan dia akan menguap lebih banyak lagi. Seorang cowok tambun berkacamata melongokkan kepala pada Julian melewati pembatas kubikel. Namanya Dewa. ”Udah ketemu, belum, Ju? Nggak perlu yang unik unik banget. Cukup ambil satu yang bikin lumayan penasaran aja.” Julian bergumam mengiyakan, asal mengeklik sebuah e-mail di kotak masuknya dan membaca isinya. ”Penampakan gadis Belanda di hotel tua.” ”Terlalu biasa,” komentar Dewa. ”Pola-pola misterius di ladang perkebunan warga.” ”Ulah para pemuda iseng. Sudah pernah diselidiki.” ”Hewan aneh berkepala dua yang meneror suatu desa.” ”Nah, kalau yang itu gimana?” ”Pasti cuma salah lihat. Sebagian besar saksi mata berumur di atas tujuh puluh tahun. Nggak ada hewan aneh berkepala dua. Mereka cuma perlu kacamata, Wa.” ”Tapi di situlah lo bermain, Ju!” Dewa merangkul bahu Julian dengan lengannya yang gempal dan berbulu. ”Lo tambahin bumbu-bumbu drama supaya jadi artikel yang menarik!”