Pada 1978, Hendardi—yang masih “anak bawang” di Institut Teknologi Bandung— terkaget-kaget dengan keberanian para seniornya mengeluarkan pernyataan politik: tidak menghendaki lagi Soeharto sebagai Presiden Indonesia. Penangkapan dan penahanan terhadap para pemimpin dan ratusan aktivis mahasiswa pun terjadi. Kampus diduduki tentara dan “dinormalkan”, rektor ITB dicopot dan diganti dengan rektorium. Perangkat Badan Koordinasi Kemahasiswaan ditanamkan untuk menggencet kebebasan berorganisasi atau berserikat. Itulah “medan pertempuran awal” Hendardi, tempat dia memperoleh pendidikan dan pengalaman politik secara langsung. Pengalaman tersebut membentuk perjalanan hidup selanjutnya. Dia memutuskan berkecimpung di bidang pembelaan hukum dan hak asasi manusia—meski berlatar belakang pendidikan teknik sipil. Mulai dari keterlibatannya dalam Komite Pembelaan Mahasiswa, Lembaga Bantuan Hukum Bandung, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), hingga Setara Institute. Dia membela aktivis mahasiswa yang ditahan aparat negara secara semena-mena, petani yang lahannya diambil alih secara paksa, hingga tahanan politik seperti Xanana Gusmao. Berkat kiprahnya, Hendardi memperoleh penghargaan dari organisasi HAM terkemuka di Amerika Serikat, Human Rights Watch. Buku ini memuat percik-percik gagasan Hendardi yang ditulis di sejumlah media nasional. Dengan jernih dia mengupas berbagai persoalan dan tantangan terkait penegakan hak asasi manusia, negara hukum, dan kehidupan kebangsaan. Meski ditulis dalam rentang 1990–2000, banyak gagasannya masih relevan bagi Indonesia hari ini.