Tak bisa dan tak akan berhenti, bahkan jika belum pernah bertemu, bahkan jika aku belum tahu namamu yang sebenarnya, bahkan jika kita dijodohkan oleh nasib buruk. Jadi, jangan bilang kalau cintaku tak seluas tujuh langit yang sengaja kaubuat untuk menghalangiku, darimu.
Gambarmu
Di gambar itu senyummu rengkah
dan putih tua. Musim gugur yang
murung menyelinap tiba-tiba.
Sebuah kamar berjendela kayu,
langit-langit cokelat susu.
Seprai putih masih bergumul dan
menyekap mimpi, sementara bunyi
mesin tik tak henti menipu masa lalu.
Di setiap halaman yang selesai, kuhadiahi
dirimu sebuah pelukan; menyelimuti
ketakutan-ketakutan yang sama sekali
tak perlu, seperti di cerita-ceritaku yang
belum juga selesai.
Langit kembali jatuh ke ujung sepatu.
Masih ingatkah kau? Kita menyianyiakan malam dengan cinta.
Hingga pada akhirnya, mesin tik itu
tak lagi bersuara, dan senyummu di
gambar itu tak lagi renta.
Ia memudar perlahan.
Dan hilang.
Aku sengaja tak pernah
membangunkanmu.
Selling Point:
Puisi-puisi dalam buku ini menggambarkan perasaan-perasaan dalam diri manusia yang selalu berubah-ubah naik turun dan jatuh bangun. Cinta, rindu, benci, dan sakit hati. Ditulis dengan lugas dan kadang banal, buku ini mengajak pembaca menyelami perasaannya yang terdalam dengan kalimat-kalimat puitis yang bercerita dengan indah.
Profil Penulis:
Adi telah lebih dari 30 tahun menulis dan menghasilkan berbagai macam jenis buku dalam genre fiksi dan nonfiksi. Adi cukup banyak menulis buku puisi, baik itu berbahasa Inggris maupun Indonesia. “Hanya Rindu, Bukan Dendam” adalah bukunya yang ke-85. Instagram: @adimodel_ X: @adimodel