Bukan lagi zamannya perjodohan, tetapi Dinda dan Raihan harus menghadapi kenyataan bahwa orangtua ingin mereka bersatu dalam mahligai rumah tangga. Tak mudah bagi keduanya yang sedari awal tidak ingin menikah lantaran masa lalu, luka, dan derita yang pernah mereka lalui.
Tekad untuk tidak menikah itu akhirnya selesai begitu kata “sepakat” terucap dalam ikrar. Namun, keyakinan bahwa tidak akan ada panah merah jambu untuk satu sama lain itu kandas beserta pupusnya kepercayaan diri akan mudahnya menjalin ikatan suci.
Tak ada yang tahu—karena tak ada yang sanggup melawan kehendak semesta—bahwa segala pelik yang mereka hadapi membawa mereka menemukan makna cinta sejati yang sesungguhnya.