*Pemenang I Sayembara Novel DKJ 2008* "Di ujung sabar ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran. Dan air mata hanyalah untuk yang lemah." Mabel percaya takdir akan berakhir buruk jika kita tidak menjaga langkah, apalagi bagi perempuan seperti dirinya. Tapi Mace, sang menantu, belum bisa melupakan trauma pada masa lalu. Sementara Leksi, cucu kesayangan Mabel, masih suka semaunya sendiri. Beruntung ada ada Pum dan Kwee yang bisa diandalkan. Bersama keduanya, si kecil Leksi berlajar menjalani hidup yang keras di atas Tanah Tabu. Dan, pada kita semua, Mabel berpesan, "Kita harus tetap kuat.... Jangan menyerah. Terus berjuang demi anak-cucu kita. Mereka harus mendapatkan kehidupan yang lebih baik." Anindita tidak menulis sebuah novel etnografi dengan semangat eksotisme kolonial, melainkan dengan perspektif emik yang penuh empati. Melalui novel ini saya berkenalan dengan Leksi, seorang bocah Papua, yang dengan kenaifannya justru menunjukkan kritisisme cerdas; juga Mabel yang menjadi eksemplar seorang perempuan hebat tanpa perlu ribet dan genit dengan retorika la aktivis perempuan menengah-kota. -Kris Budiman, Kritikus Sastra, Juri Sayembara Novel DKJ 2008- Sosok Mabel dalam novel ini menampilkan perempuan yang melawan diskriminasi dalam konteks sosio kultural dan politik masyarakatnya. --Linda Christanty, Penulis dan Jurnalis, Juri Sayembara Novel DKJ 2008- Tanah Tabu menarik bukan saja karena penguasaan atas materi penulisan yang baik, maupun penyusunan komposisinya, tetapi juga urgensi masalah, yang membuatnya sangat penting. --Seno Gumira Ajidarma, Cerpenis, Novelis dan Wartawan, Juri Sayembara Novel DKJ 2008-