normal
20%
OFF
Tambah ke Keranjang Belanja
Atau
Tambah ke Daftar Keinginan

The Anthropocene Reviewed (Soft Cover)
oleh John Green

Harga Resmi : Rp. 99.000
Harga : Rp. 79.200 (20% OFF)

Ketersediaan : Stock di Gudang Supplier

Format : Soft Cover
ISBN : 6024412894
ISBN13 : 9786024412890
Tanggal Terbit : 2 Agustus 2022
Bahasa : Indonesia
Penerbit : Mizan Publishing



Deskripsi:

Sejarah umat manusia adalah catatan besar tentang aneka paradoks. Bagaimana kita bisa sangat welas asih dan sekaligus sangat kejam. Kita begitu pantang menyerah dan sekaligus cepat putus asa. Sedemikian digdaya kita menjelajah ruang angkasa, tapi tak kuasa menyelamatkan sesama dari kelaparan dan peperangan. Dan kenyataan itu dipertajam dan diperluas oleh teknologi digital ketika semua hal paradoksikal itu dapat dilakukan dalam sekali klik (one click away).

Disusun berdasarkan podcast berjudul sama yang telah diunduh 10 juta kali, buku ini merupakan penjelajahan reflektif tentang pelbagai persentuhan kita dengan aneka peristiwa. Kisah-kisah sederhana nan menyentuh tentang kekalahan dan kemenangan; penderitaan dan kebahagiaan; kesendirian dan kebersamaan; kefanaan dan kebermaknaan. Lebih dari itu—dan ini yang terpenting—tentang ajakan untuk bersentuhan intim dengan dunia diri dan semesta.

 

 

 

ISI BUKU
 

Pendahuluan — 9
“You’ll Never Walk Alone” — 19
Rentang Waktu Keberadaan Manusia — 25
Komet Halley — 36
Ketakjuban Kita — 44
Lukisan Gua Lascaux — 51
Stiker Scratch ’N’ Sniff — 58
Diet Dr Pepper — 65
Velociraptor — 70
Angsa Kanada — 75
Teddy Bear — 81
The Hall of Presidents — 87
Air-Conditioning — 93
Staphylococcus aureus — 100
Internet — 107
Academic Decathlon — 112
Matahari Terbenam — 119
Permainan Jerzy Dudek pada 25 Mei 2005 — 126
Penguins of Madagascar — 133
Piggly Wiggly — 139
Lomba Makan Hot Dog Nathan’s Famous — 147
CNN — 154
Harvey — 162
Keahlian yang Hilang — 169
“Auld Lang Syne” — 176
Meng-Google Orang — 186
Indianapolis — 193
Kentucky Bluegrass — 199
Indianapolis 500 — 204
Monopoli — 211
Super Mario Kart — 217
Bonneville Salt Flats — 222
Gambar Lingkaran Hiroyuki Doi — 229
Berbisik — 234
Meningitis Akibat Virus — 238
Wabah — 244
Wintry Mix — 256
Hot Dog Bæjarins Beztu Pylsur — 265
Aplikasi Notes — 274
The Mountain Goats — 281
Papan Ketik QWERTY — 283
Bola Cat Terbesar di Dunia — 289
Pohon Sycamore — 296
“New Partner” — 303
Tiga Petani dalam Perjalanan ke Pesta Dansa —  309
Penutup — 319
Ucapan Terima Kasih — 325
Catatan-Catatan — 327
Indeks — 347
Tentang Penulis — 355

 

 

 

PENDAHULUAN

 

NOVEL SAYA TURTLES ALL THE WAY DOWN terbit pada Oktober 2017. Setelah menghabiskan sebulan untuk tur promosi buku itu, saya pulang ke rumah di Indianapolis dan membuat jalan setapak di antara rumah pohon anak-anak saya dan ruang kecil tempat saya dan istri sering bekerja. Tergantung cara pandang Anda, ruangan itu bisa dianggap sebagai ruang kerja atau gudang.

Jalan yang saya sebut tadi bukanlah kiasan, melainkan jalan setapak betulan di dalam hutan. Untuk membuatnya, saya harus membabat puluhan tanaman rambat kamperfuli yang produktif dan ganas, yang mencekik sebagian besar Indiana Tengah. Saya juga membedol English ivy yang merajalela, kemudian menutup jalur itu dengan kepingan kayu dan memasang bata di atasnya. Saya mengerjakan pembuatan jalan setapak itu sepuluh atau dua belas jam sehari, lima atau enam hari seminggu, selama sebulan. Ketika akhirnya saya merampungkannya, saya mengukur waktu yang saya pakai untuk menempuh jalan setapak itu dari ruang kerja kami ke rumah pohon. Lima puluh delapan detik. Saya butuh waktu sebulan penuh untuk menciptakan kesempatan berjalan 58 detik di tengah hutan.

Seminggu setelah merampungkan jalan tersebut, saya sedang menggerayangi isi laci untuk mencari pelembap bibir ChapStick ketika mendadak, tanpa tanda-tanda, saya hilang keseimbangan. Dunia mulai berputar dan jungkir balik. Mendadak saya merasa seperti perahu mungil di tengah samudra penuh ombak raksasa. Bola mata saya bergetar dan saya mulai muntah. Segera saya dilarikan ke rumah sakit, dan selama berminggu-minggu setelahnya, dunia di sekitar saya serasa tak henti berputar. Akhirnya saya didiagnosis mengidap labyrinthitis, penyakit bagian dalam telinga yang punya nama keren tapi tak perlu diragukan lagi cuma pantas diberi nilai satu bintang.

Proses pemulihan dari labyrinthitis membuat saya berminggu-minggu terbaring di ranjang, tidak bisa membaca atau menonton TV atau bermain dengan anak-anak saya. Saya hanya menghabiskan waktu dengan pikiran saya—yang kadang melayang setengah sadar, dan di lain waktu membikin saya panik dengan kehadirannya yang begitu menyesakkan. Selama hari-hari panjang yang statis ini, pikiran saya mengembara ke mana-mana, berkeliaran menjelajahi masa lalu.


Penulis Allegra Goodman pernah mendapat pertanyaan, “Siapa penulis yang Anda harap menulis kisah hidup Anda?” Dia menjawab, “Sepertinya saya sendiri sudah menulisnya, tapi berhubung saya seorang novelis, semua tertulis dalam sandi.” Dalam kasus saya, saya mulai merasa bahwa sebagian orang menganggap mereka telah berhasil memecahkan sandi itu. Mereka beranggapan saya punya pandangan yang sama dengan para protagonis dalam buku saya, atau mereka bertanya kepada saya seolah-olah saya adalah protagonis buku saya. Seorang pewawancara terkenal bertanya apakah saya, seperti narator Turtles All the Way Down, juga mengalami serangan kecemasan ketika berciuman.
Dengan mengakui secara terbuka kepada publik bahwa saya menderita gangguan mental, saya seperti mengundang pertanyaan semacam itu. Tapi tetap saja, terlalu banyak membicarakan diri saya dalam konteks fiksi terasa melelahkan dan sedikit meresahkan. Saya menjawab pewawancara itu bahwa saya tidak mengalami serangan kecemasan dalam hal berciuman. Tapi, saya memang mengalami berbagai serangan kepanikan, dan semuanya sangat menakutkan. Selama menjawab, saya merasa berjarak dari diri saya sendiri—seperti diri saya bukanlah milik saya, tetapi sesuatu yang saya jual, atau setidaknya saya sewakan, demi mendapat publikasi yang bagus.

Setelah pulih dari labyrinthitis, saya menyadari saya tidak lagi ingin menulis dalam bahasa sandi.

___________

Pada 2000, selama beberapa bulan saya bertugas menjadi pendamping rohani di sebuah rumah sakit anak. Saya mendaftarkan diri di sekolah tinggi teologi dan berencana menjadi pendeta Episkopal, tapi masa tugas di rumah sakit membuat saya mengurungkan niat itu. Saya tidak kuat menanggung kepedihan yang saya saksikan di sana. Sampai sekarang saya tidak mampu. Bukannya masuk ke sekolah tinggi teologi, saya pindah ke Chicago dan bekerja sebagai juru tik di agen tenaga kerja sementara, sampai kemudian mendapatkan pekerjaan memproses data untuk majalah Booklist, sebuah jurnal ulasan buku dwi-mingguan.


Beberapa bulan kemudian, saya mendapat kesempatan pertama mengulas buku setelah seorang editor bertanya apakah saya suka novel percintaan. Saya jawab, saya sangat menyukainya, dan ia pun memberi saya sebuah novel berlatar belakang London abad ke-17. Selama lima tahun berikutnya, saya mengulas ratusan buku untuk Booklist—dari picture book tentang Buddha sampai kumpulan puisi. Efek sampingnya adalah saya menjadi amat tertarik pada format ulasan. Ulasan dalam Booklist dibatasi hanya sepanjang 175 kata. Itu berarti, setiap kalimat harus menjalankan sekian tugas. Setiap ulasan harus memperkenalkan sebuah buku sambil sekaligus menganalisisnya. Pujian Anda harus hidup berdampingan dengan kritikan Anda.

Di Booklist, ulasan tidak menyertakan sistem penilaian lima-bintang. Buat apa? Dalam 175 kata, kita bisa menyampaikan lebih banyak hal kepada calon pembaca ketimbang data penilaian apa pun.

Skala lima-bintang baru dipakai dalam analisis kritis selama beberapa dekade belakangan. Meski terkadang diterapkan dalam kritik film sejak 1950-an, skala lima-bintang tidak dipakai dalam penilaian hotel hingga 1979, dan tidak banyak digunakan untuk menilai buku sampai Amazon memperkenalkan sistem ulasan pengguna. Skala lima-bintang tidak dipakai untuk manusia; skala itu dipakai untuk sistem agregasi data, karena itulah skala ini tidak menjadi standar penilaian hingga era internet. Menyimpulkan kualitas sebuah buku dari ulasan 175 kata adalah kerja berat bagi kecerdasan buatan atau artificial intelligence, sementara pemeringkatan dengan skala bintang adalah sistem yang ideal bagi mereka.

___________

Saya sangat tergoda untuk menjadikan labyrinthitis sebuah metafora: Kehidupan saya tak seimbang sehingga saya begitu terpukul oleh gangguan keseimbangan. Saya menghabiskan waktu sebulan untuk menorehkan segaris lurus jalan setapak, hanya untuk kemudian mendapat pelajaran bahwa hidup tidak pernah merupakan jalan lurus—tapi adalah labirin-labirin membingungkan yang saling tumpang tindih. Bahkan sekarang pun saya menyusun pendahuluan ini layaknya labirin, berulang-ulang kembali ke tempat-tempat yang saya kira sudah bisa saya tinggalkan.

 

">

Sejarah umat manusia adalah catatan besar tentang aneka paradoks. Bagaimana kita bisa sangat welas asih dan sekaligus sangat kejam. Kita begitu pantang menyerah dan sekaligus cepat putus asa. Sedemikian digdaya kita menjelajah ruang angkasa, tapi tak kuasa menyelamatkan sesama dari kelaparan dan peperangan. Dan kenyataan itu dipertajam dan diperluas oleh teknologi digital ketika semua hal paradoksikal itu dapat dilakukan dalam sekali klik (one click away).

Disusun berdasarkan podcast berjudul sama yang telah diunduh 10 juta kali, buku ini merupakan penjelajahan reflektif tentang pelbagai persentuhan kita dengan aneka peristiwa. Kisah-kisah sederhana nan menyentuh tentang kekalahan dan kemenangan; penderitaan dan kebahagiaan; kesendirian dan kebersamaan; kefanaan dan kebermaknaan. Lebih dari itu—dan ini yang terpenting—tentang ajakan untuk bersentuhan intim dengan dunia diri dan semesta.

 

 

 

ISI BUKU
 

Pendahuluan — 9
“You’ll Never Walk Alone” — 19
Rentang Waktu Keberadaan Manusia — 25
Komet Halley — 36
Ketakjuban Kita — 44
Lukisan Gua Lascaux — 51
Stiker Scratch ’N’ Sniff — 58
Diet Dr Pepper — 65
Velociraptor — 70
Angsa Kanada — 75
Teddy Bear — 81
The Hall of Presidents — 87
Air-Conditioning — 93
Staphylococcus aureus — 100
Internet — 107
Academic Decathlon — 112
Matahari Terbenam — 119
Permainan Jerzy Dudek pada 25 Mei 2005 — 126
Penguins of Madagascar — 133
Piggly Wiggly — 139
Lomba Makan Hot Dog Nathan’s Famous — 147
CNN — 154
Harvey — 162
Keahlian yang Hilang — 169
“Auld Lang Syne” — 176
Meng-Google Orang — 186
Indianapolis — 193
Kentucky Bluegrass — 199
Indianapolis 500 — 204
Monopoli — 211
Super Mario Kart — 217
Bonneville Salt Flats — 222
Gambar Lingkaran Hiroyuki Doi — 229
Berbisik — 234
Meningitis Akibat Virus — 238
Wabah — 244
Wintry Mix — 256
Hot Dog Bæjarins Beztu Pylsur — 265
Aplikasi Notes — 274
The Mountain Goats — 281
Papan Ketik QWERTY — 283
Bola Cat Terbesar di Dunia — 289
Pohon Sycamore — 296
“New Partner” — 303
Tiga Petani dalam Perjalanan ke Pesta Dansa —  309
Penutup — 319
Ucapan Terima Kasih — 325
Catatan-Catatan — 327
Indeks — 347
Tentang Penulis — 355

 

 

 

PENDAHULUAN

 

NOVEL SAYA TURTLES ALL THE WAY DOWN terbit pada Oktober 2017. Setelah menghabiskan sebulan untuk tur promosi buku itu, saya pulang ke rumah di Indianapolis dan membuat jalan setapak di antara rumah pohon anak-anak saya dan ruang kecil tempat saya dan istri sering bekerja. Tergantung cara pandang Anda, ruangan itu bisa dianggap sebagai ruang kerja atau gudang.

Jalan yang saya sebut tadi bukanlah kiasan, melainkan jalan setapak betulan di dalam hutan. Untuk membuatnya, saya harus membabat puluhan tanaman rambat kamperfuli yang produktif dan ganas, yang mencekik sebagian besar Indiana Tengah. Saya juga membedol English ivy yang merajalela, kemudian menutup jalur itu dengan kepingan kayu dan memasang bata di atasnya. Saya mengerjakan pembuatan jalan setapak itu sepuluh atau dua belas jam sehari, lima atau enam hari seminggu, selama sebulan. Ketika akhirnya saya merampungkannya, saya mengukur waktu yang saya pakai untuk menempuh jalan setapak itu dari ruang kerja kami ke rumah pohon. Lima puluh delapan detik. Saya butuh waktu sebulan penuh untuk menciptakan kesempatan berjalan 58 detik di tengah hutan.

Seminggu setelah merampungkan jalan tersebut, saya sedang menggerayangi isi laci untuk mencari pelembap bibir ChapStick ketika mendadak, tanpa tanda-tanda, saya hilang keseimbangan. Dunia mulai berputar dan jungkir balik. Mendadak saya merasa seperti perahu mungil di tengah samudra penuh ombak raksasa. Bola mata saya bergetar dan saya mulai muntah. Segera saya dilarikan ke rumah sakit, dan selama berminggu-minggu setelahnya, dunia di sekitar saya serasa tak henti berputar. Akhirnya saya didiagnosis mengidap labyrinthitis, penyakit bagian dalam telinga yang punya nama keren tapi tak perlu diragukan lagi cuma pantas diberi nilai satu bintang.

Proses pemulihan dari labyrinthitis membuat saya berminggu-minggu terbaring di ranjang, tidak bisa membaca atau menonton TV atau bermain dengan anak-anak saya. Saya hanya menghabiskan waktu dengan pikiran saya—yang kadang melayang setengah sadar, dan di lain waktu membikin saya panik dengan kehadirannya yang begitu menyesakkan. Selama hari-hari panjang yang statis ini, pikiran saya mengembara ke mana-mana, berkeliaran menjelajahi masa lalu.


Penulis Allegra Goodman pernah mendapat pertanyaan, “Siapa penulis yang Anda harap menulis kisah hidup Anda?” Dia menjawab, “Sepertinya saya sendiri sudah menulisnya, tapi berhubung saya seorang novelis, semua tertulis dalam sandi.” Dalam kasus saya, saya mulai merasa bahwa sebagian orang menganggap mereka telah berhasil memecahkan sandi itu. Mereka beranggapan saya punya pandangan yang sama dengan para protagonis dalam buku saya, atau mereka bertanya kepada saya seolah-olah saya adalah protagonis buku saya. Seorang pewawancara terkenal bertanya apakah saya, seperti narator Turtles All the Way Down, juga mengalami serangan kecemasan ketika berciuman.
Dengan mengakui secara terbuka kepada publik bahwa saya menderita gangguan mental, saya seperti mengundang pertanyaan semacam itu. Tapi tetap saja, terlalu banyak membicarakan diri saya dalam konteks fiksi terasa melelahkan dan sedikit meresahkan. Saya menjawab pewawancara itu bahwa saya tidak mengalami serangan kecemasan dalam hal berciuman. Tapi, saya memang mengalami berbagai serangan kepanikan, dan semuanya sangat menakutkan. Selama menjawab, saya merasa berjarak dari diri saya sendiri—seperti diri saya bukanlah milik saya, tetapi sesuatu yang saya jual, atau setidaknya saya sewakan, demi mendapat publikasi yang bagus.

Setelah pulih dari labyrinthitis, saya menyadari saya tidak lagi ingin menulis dalam bahasa sandi.

___________

Pada 2000, selama beberapa bulan saya bertugas menjadi pendamping rohani di sebuah rumah sakit anak. Saya mendaftarkan diri di sekolah tinggi teologi dan berencana menjadi pendeta Episkopal, tapi masa tugas di rumah sakit membuat saya mengurungkan niat itu. Saya tidak kuat menanggung kepedihan yang saya saksikan di sana. Sampai sekarang saya tidak mampu. Bukannya masuk ke sekolah tinggi teologi, saya pindah ke Chicago dan bekerja sebagai juru tik di agen tenaga kerja sementara, sampai kemudian mendapatkan pekerjaan memproses data untuk majalah Booklist, sebuah jurnal ulasan buku dwi-mingguan.


Beberapa bulan kemudian, saya mendapat kesempatan pertama mengulas buku setelah seorang editor bertanya apakah saya suka novel percintaan. Saya jawab, saya sangat menyukainya, dan ia pun memberi saya sebuah novel berlatar belakang London abad ke-17. Selama lima tahun berikutnya, saya mengulas ratusan buku untuk Booklist—dari picture book tentang Buddha sampai kumpulan puisi. Efek sampingnya adalah saya menjadi amat tertarik pada format ulasan. Ulasan dalam Booklist dibatasi hanya sepanjang 175 kata. Itu berarti, setiap kalimat harus menjalankan sekian tugas. Setiap ulasan harus memperkenalkan sebuah buku sambil sekaligus menganalisisnya. Pujian Anda harus hidup berdampingan dengan kritikan Anda.

Di Booklist, ulasan tidak menyertakan sistem penilaian lima-bintang. Buat apa? Dalam 175 kata, kita bisa menyampaikan lebih banyak hal kepada calon pembaca ketimbang data penilaian apa pun.

Skala lima-bintang baru dipakai dalam analisis kritis selama beberapa dekade belakangan. Meski terkadang diterapkan dalam kritik film sejak 1950-an, skala lima-bintang tidak dipakai dalam penilaian hotel hingga 1979, dan tidak banyak digunakan untuk menilai buku sampai Amazon memperkenalkan sistem ulasan pengguna. Skala lima-bintang tidak dipakai untuk manusia; skala itu dipakai untuk sistem agregasi data, karena itulah skala ini tidak menjadi standar penilaian hingga era internet. Menyimpulkan kualitas sebuah buku dari ulasan 175 kata adalah kerja berat bagi kecerdasan buatan atau artificial intelligence, sementara pemeringkatan dengan skala bintang adalah sistem yang ideal bagi mereka.

___________

Saya sangat tergoda untuk menjadikan labyrinthitis sebuah metafora: Kehidupan saya tak seimbang sehingga saya begitu terpukul oleh gangguan keseimbangan. Saya menghabiskan waktu sebulan untuk menorehkan segaris lurus jalan setapak, hanya untuk kemudian mendapat pelajaran bahwa hidup tidak pernah merupakan jalan lurus—tapi adalah labirin-labirin membingungkan yang saling tumpang tindih. Bahkan sekarang pun saya menyusun pendahuluan ini layaknya labirin, berulang-ulang kembali ke tempat-tempat yang saya kira sudah bisa saya tinggalkan.

 

">

Sejarah umat manusia adalah catatan besar tentang aneka paradoks. Bagaimana kita bisa sangat welas asih dan sekaligus sangat kejam. Kita begitu pantang menyerah dan sekaligus cepat putus asa. Sedemikian digdaya kita menjelajah ruang angkasa, tapi tak kuasa menyelamatkan sesama dari kelaparan dan peperangan. Dan kenyataan itu dipertajam dan diperluas oleh teknologi digital ketika semua hal paradoksikal itu dapat dilakukan dalam sekali klik (one click away).

Disusun berdasarkan podcast berjudul sama yang telah diunduh 10 juta kali, buku ini merupakan penjelajahan reflektif tentang pelbagai persentuhan kita dengan aneka peristiwa. Kisah-kisah sederhana nan menyentuh tentang kekalahan dan kemenangan; penderitaan dan kebahagiaan; kesendirian dan kebersamaan; kefanaan dan kebermaknaan. Lebih dari itu—dan ini yang terpenting—tentang ajakan untuk bersentuhan intim dengan dunia diri dan semesta.

 

 

 

ISI BUKU
 

Pendahuluan — 9
“You’ll Never Walk Alone” — 19
Rentang Waktu Keberadaan Manusia — 25
Komet Halley — 36
Ketakjuban Kita — 44
Lukisan Gua Lascaux — 51
Stiker Scratch ’N’ Sniff — 58
Diet Dr Pepper — 65
Velociraptor — 70
Angsa Kanada — 75
Teddy Bear — 81
The Hall of Presidents — 87
Air-Conditioning — 93
Staphylococcus aureus — 100
Internet — 107
Academic Decathlon — 112
Matahari Terbenam — 119
Permainan Jerzy Dudek pada 25 Mei 2005 — 126
Penguins of Madagascar — 133
Piggly Wiggly — 139
Lomba Makan Hot Dog Nathan’s Famous — 147
CNN — 154
Harvey — 162
Keahlian yang Hilang — 169
“Auld Lang Syne” — 176
Meng-Google Orang — 186
Indianapolis — 193
Kentucky Bluegrass — 199
Indianapolis 500 — 204
Monopoli — 211
Super Mario Kart — 217
Bonneville Salt Flats — 222
Gambar Lingkaran Hiroyuki Doi — 229
Berbisik — 234
Meningitis Akibat Virus — 238
Wabah — 244
Wintry Mix — 256
Hot Dog Bæjarins Beztu Pylsur — 265
Aplikasi Notes — 274
The Mountain Goats — 281
Papan Ketik QWERTY — 283
Bola Cat Terbesar di Dunia — 289
Pohon Sycamore — 296
“New Partner” — 303
Tiga Petani dalam Perjalanan ke Pesta Dansa —  309
Penutup — 319
Ucapan Terima Kasih — 325
Catatan-Catatan — 327
Indeks — 347
Tentang Penulis — 355

 

 

 

PENDAHULUAN

 

NOVEL SAYA TURTLES ALL THE WAY DOWN terbit pada Oktober 2017. Setelah menghabiskan sebulan untuk tur promosi buku itu, saya pulang ke rumah di Indianapolis dan membuat jalan setapak di antara rumah pohon anak-anak saya dan ruang kecil tempat saya dan istri sering bekerja. Tergantung cara pandang Anda, ruangan itu bisa dianggap sebagai ruang kerja atau gudang.

Jalan yang saya sebut tadi bukanlah kiasan, melainkan jalan setapak betulan di dalam hutan. Untuk membuatnya, saya harus membabat puluhan tanaman rambat kamperfuli yang produktif dan ganas, yang mencekik sebagian besar Indiana Tengah. Saya juga membedol English ivy yang merajalela, kemudian menutup jalur itu dengan kepingan kayu dan memasang bata di atasnya. Saya mengerjakan pembuatan jalan setapak itu sepuluh atau dua belas jam sehari, lima atau enam hari seminggu, selama sebulan. Ketika akhirnya saya merampungkannya, saya mengukur waktu yang saya pakai untuk menempuh jalan setapak itu dari ruang kerja kami ke rumah pohon. Lima puluh delapan detik. Saya butuh waktu sebulan penuh untuk menciptakan kesempatan berjalan 58 detik di tengah hutan.

Seminggu setelah merampungkan jalan tersebut, saya sedang menggerayangi isi laci untuk mencari pelembap bibir ChapStick ketika mendadak, tanpa tanda-tanda, saya hilang keseimbangan. Dunia mulai berputar dan jungkir balik. Mendadak saya merasa seperti perahu mungil di tengah samudra penuh ombak raksasa. Bola mata saya bergetar dan saya mulai muntah. Segera saya dilarikan ke rumah sakit, dan selama berminggu-minggu setelahnya, dunia di sekitar saya serasa tak henti berputar. Akhirnya saya didiagnosis mengidap labyrinthitis, penyakit bagian dalam telinga yang punya nama keren tapi tak perlu diragukan lagi cuma pantas diberi nilai satu bintang.

Proses pemulihan dari labyrinthitis membuat saya berminggu-minggu terbaring di ranjang, tidak bisa membaca atau menonton TV atau bermain dengan anak-anak saya. Saya hanya menghabiskan waktu dengan pikiran saya—yang kadang melayang setengah sadar, dan di lain waktu membikin saya panik dengan kehadirannya yang begitu menyesakkan. Selama hari-hari panjang yang statis ini, pikiran saya mengembara ke mana-mana, berkeliaran menjelajahi masa lalu.


Penulis Allegra Goodman pernah mendapat pertanyaan, “Siapa penulis yang Anda harap menulis kisah hidup Anda?” Dia menjawab, “Sepertinya saya sendiri sudah menulisnya, tapi berhubung saya seorang novelis, semua tertulis dalam sandi.” Dalam kasus saya, saya mulai merasa bahwa sebagian orang menganggap mereka telah berhasil memecahkan sandi itu. Mereka beranggapan saya punya pandangan yang sama dengan para protagonis dalam buku saya, atau mereka bertanya kepada saya seolah-olah saya adalah protagonis buku saya. Seorang pewawancara terkenal bertanya apakah saya, seperti narator Turtles All the Way Down, juga mengalami serangan kecemasan ketika berciuman.
Dengan mengakui secara terbuka kepada publik bahwa saya menderita gangguan mental, saya seperti mengundang pertanyaan semacam itu. Tapi tetap saja, terlalu banyak membicarakan diri saya dalam konteks fiksi terasa melelahkan dan sedikit meresahkan. Saya menjawab pewawancara itu bahwa saya tidak mengalami serangan kecemasan dalam hal berciuman. Tapi, saya memang mengalami berbagai serangan kepanikan, dan semuanya sangat menakutkan. Selama menjawab, saya merasa berjarak dari diri saya sendiri—seperti diri saya bukanlah milik saya, tetapi sesuatu yang saya jual, atau setidaknya saya sewakan, demi mendapat publikasi yang bagus.

Setelah pulih dari labyrinthitis, saya menyadari saya tidak lagi ingin menulis dalam bahasa sandi.

___________

Pada 2000, selama beberapa bulan saya bertugas menjadi pendamping rohani di sebuah rumah sakit anak. Saya mendaftarkan diri di sekolah tinggi teologi dan berencana menjadi pendeta Episkopal, tapi masa tugas di rumah sakit membuat saya mengurungkan niat itu. Saya tidak kuat menanggung kepedihan yang saya saksikan di sana. Sampai sekarang saya tidak mampu. Bukannya masuk ke sekolah tinggi teologi, saya pindah ke Chicago dan bekerja sebagai juru tik di agen tenaga kerja sementara, sampai kemudian mendapatkan pekerjaan memproses data untuk majalah Booklist, sebuah jurnal ulasan buku dwi-mingguan.


Beberapa bulan kemudian, saya mendapat kesempatan pertama mengulas buku setelah seorang editor bertanya apakah saya suka novel percintaan. Saya jawab, saya sangat menyukainya, dan ia pun memberi saya sebuah novel berlatar belakang London abad ke-17. Selama lima tahun berikutnya, saya mengulas ratusan buku untuk Booklist—dari picture book tentang Buddha sampai kumpulan puisi. Efek sampingnya adalah saya menjadi amat tertarik pada format ulasan. Ulasan dalam Booklist dibatasi hanya sepanjang 175 kata. Itu berarti, setiap kalimat harus menjalankan sekian tugas. Setiap ulasan harus memperkenalkan sebuah buku sambil sekaligus menganalisisnya. Pujian Anda harus hidup berdampingan dengan kritikan Anda.

Di Booklist, ulasan tidak menyertakan sistem penilaian lima-bintang. Buat apa? Dalam 175 kata, kita bisa menyampaikan lebih banyak hal kepada calon pembaca ketimbang data penilaian apa pun.

Skala lima-bintang baru dipakai dalam analisis kritis selama beberapa dekade belakangan. Meski terkadang diterapkan dalam kritik film sejak 1950-an, skala lima-bintang tidak dipakai dalam penilaian hotel hingga 1979, dan tidak banyak digunakan untuk menilai buku sampai Amazon memperkenalkan sistem ulasan pengguna. Skala lima-bintang tidak dipakai untuk manusia; skala itu dipakai untuk sistem agregasi data, karena itulah skala ini tidak menjadi standar penilaian hingga era internet. Menyimpulkan kualitas sebuah buku dari ulasan 175 kata adalah kerja berat bagi kecerdasan buatan atau artificial intelligence, sementara pemeringkatan dengan skala bintang adalah sistem yang ideal bagi mereka.

___________

Saya sangat tergoda untuk menjadikan labyrinthitis sebuah metafora: Kehidupan saya tak seimbang sehingga saya begitu terpukul oleh gangguan keseimbangan. Saya menghabiskan waktu sebulan untuk menorehkan segaris lurus jalan setapak, hanya untuk kemudian mendapat pelajaran bahwa hidup tidak pernah merupakan jalan lurus—tapi adalah labirin-labirin membingungkan yang saling tumpang tindih. Bahkan sekarang pun saya menyusun pendahuluan ini layaknya labirin, berulang-ulang kembali ke tempat-tempat yang saya kira sudah bisa saya tinggalkan.

 

">

 

Sejarah umat manusia adalah catatan besar tentang aneka paradoks. Bagaimana kita bisa sangat welas asih dan sekaligus sangat kejam. Kita begitu pantang menyerah dan sekaligus cepat putus asa. Sedemikian digdaya kita menjelajah ruang angkasa, tapi tak kuasa menyelamatkan sesama dari kelaparan dan peperangan. Dan kenyataan itu dipertajam dan diperluas oleh teknologi digital ketika semua hal paradoksikal itu dapat dilakukan dalam sekali klik (one click away).

Disusun berdasarkan podcast berjudul sama yang telah diunduh 10 juta kali, buku ini merupakan penjelajahan reflektif tentang pelbagai persentuhan kita dengan aneka peristiwa. Kisah-kisah sederhana nan menyentuh tentang kekalahan dan kemenangan; penderitaan dan kebahagiaan; kesendirian dan kebersamaan; kefanaan dan kebermaknaan. Lebih dari itu—dan ini yang terpenting—tentang ajakan untuk bersentuhan intim dengan dunia diri dan semesta.

 

 

 

ISI BUKU
 

Pendahuluan — 9
“You’ll Never Walk Alone” — 19
Rentang Waktu Keberadaan Manusia — 25
Komet Halley — 36
Ketakjuban Kita — 44
Lukisan Gua Lascaux — 51
Stiker Scratch ’N’ Sniff — 58
Diet Dr Pepper — 65
Velociraptor — 70
Angsa Kanada — 75
Teddy Bear — 81
The Hall of Presidents — 87
Air-Conditioning — 93
Staphylococcus aureus — 100
Internet — 107
Academic Decathlon — 112
Matahari Terbenam — 119
Permainan Jerzy Dudek pada 25 Mei 2005 — 126
Penguins of Madagascar — 133
Piggly Wiggly — 139
Lomba Makan Hot Dog Nathan’s Famous — 147
CNN — 154
Harvey — 162
Keahlian yang Hilang — 169
“Auld Lang Syne” — 176
Meng-Google Orang — 186
Indianapolis — 193
Kentucky Bluegrass — 199
Indianapolis 500 — 204
Monopoli — 211
Super Mario Kart — 217
Bonneville Salt Flats — 222
Gambar Lingkaran Hiroyuki Doi — 229
Berbisik — 234
Meningitis Akibat Virus — 238
Wabah — 244
Wintry Mix — 256
Hot Dog Bæjarins Beztu Pylsur — 265
Aplikasi Notes — 274
The Mountain Goats — 281
Papan Ketik QWERTY — 283
Bola Cat Terbesar di Dunia — 289
Pohon Sycamore — 296
“New Partner” — 303
Tiga Petani dalam Perjalanan ke Pesta Dansa —  309
Penutup — 319
Ucapan Terima Kasih — 325
Catatan-Catatan — 327
Indeks — 347
Tentang Penulis — 355

 

 

 

PENDAHULUAN

 

NOVEL SAYA TURTLES ALL THE WAY DOWN terbit pada Oktober 2017. Setelah menghabiskan sebulan untuk tur promosi buku itu, saya pulang ke rumah di Indianapolis dan membuat jalan setapak di antara rumah pohon anak-anak saya dan ruang kecil tempat saya dan istri sering bekerja. Tergantung cara pandang Anda, ruangan itu bisa dianggap sebagai ruang kerja atau gudang.

Jalan yang saya sebut tadi bukanlah kiasan, melainkan jalan setapak betulan di dalam hutan. Untuk membuatnya, saya harus membabat puluhan tanaman rambat kamperfuli yang produktif dan ganas, yang mencekik sebagian besar Indiana Tengah. Saya juga membedol English ivy yang merajalela, kemudian menutup jalur itu dengan kepingan kayu dan memasang bata di atasnya. Saya mengerjakan pembuatan jalan setapak itu sepuluh atau dua belas jam sehari, lima atau enam hari seminggu, selama sebulan. Ketika akhirnya saya merampungkannya, saya mengukur waktu yang saya pakai untuk menempuh jalan setapak itu dari ruang kerja kami ke rumah pohon. Lima puluh delapan detik. Saya butuh waktu sebulan penuh untuk menciptakan kesempatan berjalan 58 detik di tengah hutan.

Seminggu setelah merampungkan jalan tersebut, saya sedang menggerayangi isi laci untuk mencari pelembap bibir ChapStick ketika mendadak, tanpa tanda-tanda, saya hilang keseimbangan. Dunia mulai berputar dan jungkir balik. Mendadak saya merasa seperti perahu mungil di tengah samudra penuh ombak raksasa. Bola mata saya bergetar dan saya mulai muntah. Segera saya dilarikan ke rumah sakit, dan selama berminggu-minggu setelahnya, dunia di sekitar saya serasa tak henti berputar. Akhirnya saya didiagnosis mengidap labyrinthitis, penyakit bagian dalam telinga yang punya nama keren tapi tak perlu diragukan lagi cuma pantas diberi nilai satu bintang.

Proses pemulihan dari labyrinthitis membuat saya berminggu-minggu terbaring di ranjang, tidak bisa membaca atau menonton TV atau bermain dengan anak-anak saya. Saya hanya menghabiskan waktu dengan pikiran saya—yang kadang melayang setengah sadar, dan di lain waktu membikin saya panik dengan kehadirannya yang begitu menyesakkan. Selama hari-hari panjang yang statis ini, pikiran saya mengembara ke mana-mana, berkeliaran menjelajahi masa lalu.


Penulis Allegra Goodman pernah mendapat pertanyaan, “Siapa penulis yang Anda harap menulis kisah hidup Anda?” Dia menjawab, “Sepertinya saya sendiri sudah menulisnya, tapi berhubung saya seorang novelis, semua tertulis dalam sandi.” Dalam kasus saya, saya mulai merasa bahwa sebagian orang menganggap mereka telah berhasil memecahkan sandi itu. Mereka beranggapan saya punya pandangan yang sama dengan para protagonis dalam buku saya, atau mereka bertanya kepada saya seolah-olah saya adalah protagonis buku saya. Seorang pewawancara terkenal bertanya apakah saya, seperti narator Turtles All the Way Down, juga mengalami serangan kecemasan ketika berciuman.
Dengan mengakui secara terbuka kepada publik bahwa saya menderita gangguan mental, saya seperti mengundang pertanyaan semacam itu. Tapi tetap saja, terlalu banyak membicarakan diri saya dalam konteks fiksi terasa melelahkan dan sedikit meresahkan. Saya menjawab pewawancara itu bahwa saya tidak mengalami serangan kecemasan dalam hal berciuman. Tapi, saya memang mengalami berbagai serangan kepanikan, dan semuanya sangat menakutkan. Selama menjawab, saya merasa berjarak dari diri saya sendiri—seperti diri saya bukanlah milik saya, tetapi sesuatu yang saya jual, atau setidaknya saya sewakan, demi mendapat publikasi yang bagus.

Setelah pulih dari labyrinthitis, saya menyadari saya tidak lagi ingin menulis dalam bahasa sandi.

___________

Pada 2000, selama beberapa bulan saya bertugas menjadi pendamping rohani di sebuah rumah sakit anak. Saya mendaftarkan diri di sekolah tinggi teologi dan berencana menjadi pendeta Episkopal, tapi masa tugas di rumah sakit membuat saya mengurungkan niat itu. Saya tidak kuat menanggung kepedihan yang saya saksikan di sana. Sampai sekarang saya tidak mampu. Bukannya masuk ke sekolah tinggi teologi, saya pindah ke Chicago dan bekerja sebagai juru tik di agen tenaga kerja sementara, sampai kemudian mendapatkan pekerjaan memproses data untuk majalah Booklist, sebuah jurnal ulasan buku dwi-mingguan.


Beberapa bulan kemudian, saya mendapat kesempatan pertama mengulas buku setelah seorang editor bertanya apakah saya suka novel percintaan. Saya jawab, saya sangat menyukainya, dan ia pun memberi saya sebuah novel berlatar belakang London abad ke-17. Selama lima tahun berikutnya, saya mengulas ratusan buku untuk Booklist—dari picture book tentang Buddha sampai kumpulan puisi. Efek sampingnya adalah saya menjadi amat tertarik pada format ulasan. Ulasan dalam Booklist dibatasi hanya sepanjang 175 kata. Itu berarti, setiap kalimat harus menjalankan sekian tugas. Setiap ulasan harus memperkenalkan sebuah buku sambil sekaligus menganalisisnya. Pujian Anda harus hidup berdampingan dengan kritikan Anda.

Di Booklist, ulasan tidak menyertakan sistem penilaian lima-bintang. Buat apa? Dalam 175 kata, kita bisa menyampaikan lebih banyak hal kepada calon pembaca ketimbang data penilaian apa pun.

Skala lima-bintang baru dipakai dalam analisis kritis selama beberapa dekade belakangan. Meski terkadang diterapkan dalam kritik film sejak 1950-an, skala lima-bintang tidak dipakai dalam penilaian hotel hingga 1979, dan tidak banyak digunakan untuk menilai buku sampai Amazon memperkenalkan sistem ulasan pengguna. Skala lima-bintang tidak dipakai untuk manusia; skala itu dipakai untuk sistem agregasi data, karena itulah skala ini tidak menjadi standar penilaian hingga era internet. Menyimpulkan kualitas sebuah buku dari ulasan 175 kata adalah kerja berat bagi kecerdasan buatan atau artificial intelligence, sementara pemeringkatan dengan skala bintang adalah sistem yang ideal bagi mereka.

___________

Saya sangat tergoda untuk menjadikan labyrinthitis sebuah metafora: Kehidupan saya tak seimbang sehingga saya begitu terpukul oleh gangguan keseimbangan. Saya menghabiskan waktu sebulan untuk menorehkan segaris lurus jalan setapak, hanya untuk kemudian mendapat pelajaran bahwa hidup tidak pernah merupakan jalan lurus—tapi adalah labirin-labirin membingungkan yang saling tumpang tindih. Bahkan sekarang pun saya menyusun pendahuluan ini layaknya labirin, berulang-ulang kembali ke tempat-tempat yang saya kira sudah bisa saya tinggalkan.

 


Kategori dan Rangking Bestseller:

Buku Lainnya oleh John Green:
Halaman 1 dari 1
(Soft Cover)
oleh John Green
Rp. 87.000
Rp. 65.250
Stock di Gudang Supplier
(Soft Cover)
oleh John Green
Rp. 89.000
Rp. 66.750
Stock di Gudang Supplier
(Soft Cover)
oleh John Green
Rp. 49.000
Rp. 39.200
Stock di Gudang Supplier
(Soft Cover)
oleh John Green
Rp. 59.000
Rp. 44.250
Stock di Gudang Supplier
(Soft Cover)
oleh John Green
Rp. 49.000
Rp. 39.200
Stock di Gudang Supplier
(Soft Cover)
oleh John Green
Stock tidak tersedia
(Soft Cover)
oleh John Green
Stock tidak tersedia
oleh John Green
Stock tidak tersedia
oleh John Green
Stock tidak tersedia
(Soft Cover)
oleh John Green
(6)
Stock tidak tersedia
No Image Available
(Soft Cover)
oleh John Green
Stock tidak tersedia
No Image Available
(Soft Cover)
oleh John Green
Stock tidak tersedia
No Image Available
(Soft Cover)
oleh Esther Grace Earl, John Green
Stock tidak tersedia
No Image Available
(Soft Cover)
oleh John Green
Stock tidak tersedia
No Image Available
(Soft Cover)
oleh John Green, David Levithan
Stock tidak tersedia
(Soft Cover)
oleh John Green
Stock tidak tersedia
No Image Available
(Soft Cover)
oleh John Green
Stock tidak tersedia
No Image Available
(Soft Cover)
oleh John Green
(2)
Stock tidak tersedia
(Soft Cover)
oleh John Green
Stock tidak tersedia

Review Konsumen:
5 -
4 -
3 -
2 -
1 -
Jadilah yang Pertama untuk Review
Tulis Review Anda
Tulis Review Anda