Jagat Nasional Triyanto bukanlah semesta pemberian alam, bukan dunia
yang dimimesis dan diciptakan begitu saja dari kaca kenyataan dengan
sapuan naluri dan insting atau bakat, bukan sekadar gema dari jagat kecil
yang bersipongang dengan jagat besar, melainkan sebuah jagat yang
diperkaya dan dicerahkan, dunia hasil pergumulan yang keras dalam
pertempuran habis-habisan dan sine missione antara pengarang dan
kata-kata, antara pengarang dan kenyataan, dan (terutama) antara
pengarang dan dirinya sendiri.
Alhasil kita menemukan dalam aksi mini terbaik Triyanto dunia yang
dibebaskan dan membebaskan, yang melampias dari dirinya dan
meluber melimpah ke mana-mana, secara tak disangka-sangka, tak
tertahankan, berlimpahan, bergantungan dan tak pernah rampung,
berkelit dari tafsir, diam atau bergerak, hening atau bising, tumpah ruah
tak habis-habisnya, tertangkap tapi kemudian lepas, mengembang lalu
menguncup, atau membukakan diri tapi tak terdedah secara penuh
seluruh, berlesatan tapi kadang melingkar menggulung kembali pada
dirinya sendiri, penuh dan suwung pada saat yang besertaan,
berhamburan sekaligus berdiri tenang bagikan burung di telapak tangan.
(Tia Setiadi, penyair dan kritikus)