Buku berjudul Membangun Model Ideal Pemidanaan Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Berbasis Keadilan ini, ingin memberi gagasan bagaimana membangun model ideal pemidanaan korporasi pelaku tindak pidana korupsi berbasis keadilan di tengah paradigma tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organized crime), bersifat primum remedium, dan kejahatan yang paling serius (the most serious crime).
Dalam konteks penanganan tindak pidana korporasi berpuncak pada “pemidanaan” atau “pemberian pidana”. Akan tetapi, aspek ini tidak banyak disinggung dalam pelajaran hukum pidana, dan dapat diibaratkan sebagai “anak tiri dari hukum pidana”. Pada perkara korporasi pelaku tindak pidana korupsi selain berpuncak pada pemidanaan, juga bagaimana aset korporasi dapat dikembalikan kepada negara. Aspek ini perlu diketengahkan sesuai filosofi naturae aequum est, neminem cum alterius detrimento et injuria, fieri locupletiorem, yakni tidak ada seorang pun yang dapat memperkaya dirinya di atas kerugian dan penderitaan orang lain. Filosofi tersebut menjadi sumber prinsip crime does not pay atau crime shall not pay, yang merupakan ungkapan perlawanan terhadap pelaku tindak pidana agar tidak dapat menikmati hasil tindak pidana yang dilakukannya.
Karenanya, buku ini membahas bagaimana membangun model ideal pemidanaan korporasi pelaku tindak pidana korupsi berbasis keadilan dengan titik berat pengembalian aset (asset recovery) korporasi dari perspektif kekinian, masa mendatang, dan kajian perbandingan. Model ideal tersebut dibangun sesuai kultur, filosofi, dan jiwa pluralistik masyarakat Indonesia melalui lima perspektif: Pertama, rekonstruksi dan harmonisasi regulasi terkait perumusan formulasi norma pemidanaan korporasi pelaku tindak pidana korupsi. Kedua, pembaruan formulasi double track system sanksi pidana denda dan/atau sanksi pidana tambahan berupa tindakan pembubaran korporasi. Ketiga, konstruksi norma dan modifikasi penerapan konsep deferred prosecution agreement sesuai kultur filosofis indonesia. Keempat, perampasan aset kekayaan korporasi melalui non conviction-based asset forteiture. Kelima, pendekatan keadilan restoratif melalui modifikasi penerapan mediasi sesuai kultur dan filosofis indonesia terhadap korporasi pelaku tindak pidana korupsi.