Teori senyawa cinta menyebutkan persenyawaan dua insan pecinta menghasilkan se(buah)nyawa turunan. Teori ini eksis dari zaman primitif hingga mungkin akhir zaman, di belahan bumi mana pun. Termasuk pria di sebelahku, si dia tercinta. Sayangnya tidak diriku.
Sampai seorang wanita dengan se(buah)nyawa berusia balita mencuri perhatian si dia. Aku pun melakukan sesuatu yang melibatkan stiletto merah yang kumasukkan dalam salah satu unsur senyawa cinta kami (lupakan killing effect pada kaki. Catat: barang seksi untuk aktivitas seksi). Namun teori senyawa cinta klasik telah terwariskan. Dan wanita berikut turunannya itu menjadi duri dalam daging.
Aku harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang lebih dari stiletto merah. Jatuh hatiku kemudian kepada si kecil Malda di rumah asuh mengarahkan si dia pada anggapan aku telah sudi untuk meramu se(buah)nyawa turunan bersama di masa mendatang. Namun trauma masa silam terlalu depresif untuk diabaikan, sementara membuat si dia pergi jelas bukan pilihan. Aku bimbang.
Ekses dari kuatnya cinta tidak selamanya menyenangkan(ku).
Lusiwulan telah menelurkan tujuh novel. Novel Stiletto Merah, Senyawa Cinta, Alasan Sentimentil memuat pikiran-pikirannya tentang menjadi wanita. Wanita yang berhak atas pilihan di antara garis-garis normatif yang mendoktrin. Ia mengajak pembaca untuk merenungkan kembali makna kata “wanita seutuhnya”. Menurutnya, wanita yang memiliki ruang untuk memilih, itulah wanita seutuhnya.
Lusi masih mengidsap quarter life crisis dan tinggal berpindah-pindah (jiwanya belum terbelah dengan siapa pun makanya masih bisa berpindah-pindah, hehe). Logat Malang-nya masih terbawa kemana-mana, dan ia sangat ketagihan mendengarkan lagu-lagu yang menyayat.