7disabled
Stok Tidak Tersedia
Atau
Tambah ke Daftar Keinginan

Beritahukan jika produk ini tersedia kembali
Lagu Cinta Para Pendosa (Sekumpulan Puisi) (Soft Cover)
oleh Zaim Rofiqi

Ketersediaan : Stock tidak tersedia

Format : Soft Cover
ISBN13 : 9789793064772
Tanggal Terbit : Juni 2009
Bahasa : Indonesia
Penerbit : Alvabet
Halaman : 120
Dimensi : 115 mm x 180 mm



Deskripsi:
LAGU CINTA PARA PENDOSA ( S e k u m p u l a n P u i s i ) Karya Zaim Rofiqi ENDORSEMENT Bila anda ingin mengalami alam pikiran modernis, puisi-puisi dalam buku ini salah satu representasinya yang terbaik. Kecerdasan, konsentrasi, kedalaman, penggalian makna, dan kesatuan imaji terasa sangat kuat di dalamnya. Sudah sulit menemukan puisi yang demikian dalam kehiruk-pikukan dunia pasca-modernis yang menjemukan seperti sekarang ini. --Faruk HT, Ilmuwan Sastra Puitika Zaim Rofiqi dibangun di atas khasanah citraan ruang, yang terus mengikhtiarkan keluasan dan keleluasaan, sembari pada saat sama menetapkan batas-batasnya sendiri. Ada tegangan antara kehendak mengikuti dekorum dan gairah bersajak dengan bebas, tapi sajak-sajak terbaiknya adalah yang berhasil mengawinkan dua kecenderungan yang semestinya tak saling berjodoh ini. Jika Rofiqi setia kepada kerja yang menantang ini, niscaya kita tidak perlu terlalu cemas terhadap masa depan puisi Indonesia. --Manneke Budiman, Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia Racikan kata-kata yang tersaji dalam buku puisi Zaim Rofiqi ini membuat saya cemburu sekaligus kagum padanya. Dalam puisi-puisinya, Zaim begitu cerdas memilih kata, membangun suasana, serta menafsirkan pengalaman keseharian dan bacaannya yang kaya. Puisi-puisinya adalah usaha pemberian makna pada banyak hal di dunia ini yang sepertinya sia-sia.--Nong Darol Mahmada, Aktivis Perempuan Dengan senjata puitik yang wajar dan bersahaja, Zaim Rofiqi melawan vonis waktu yang merenggut segalanya. Puisi-puisinya adalah memoar perjalanan kehilangan yang berkeras menyelamatkan jejak, gema, dan bayang-bayang.--Arif Bagus Prasetyo, Penyair CATATAN PEMBACA TENTANG TANPA BATAS: SAJAK-SAJAK ZAIM ROFIQI Oleh Goenawan Mohamad Puisi selalu bergerak di pinggir tata simbolik. Ia berdiam dalam bahasa, ia mengikuti bahasa, tetapi ia tak sepenuhnya di sana dan tak betah di sana. Mungkin itu sebabnya puisi adalah antitesis bagi kediaman. Kata "kediaman" bisa menyarankan arti yang sama dengan tak adanya gerak, tapi juga arti yang sepadan dengan "rumah". Sajak-sajak Zaim menyatakan bagaimana ia selalu cenderung melepaskan diri dari kediaman itu, meskipun ketertiban yang dikehendaki oleh bahasa diikutinya: puisi-puisi ini tak meletup dengan keganjilan surrealis; mereka tak menyerah kepada apa yang bisa disebut "prakarsa permainan beda", yang tak kunjung selesai dalam kata-kata. Tapi isi sajak-sajak ini adalah ketidak-betahan. Dalam Batas, ia menyebut sebuah masa lalu yang dibangun oleh "ibu, bapak, masa kanak, rumah, pelukan, sawah, belaian tangan halaman, tanah lapang, pekarangan, pohon ketapang, kelereng, layang-layang, gambreng, ular-ularan, sekolah, guru, sejarah, ilmu nahwu, tatap mata, kisah cinta, remaja, tamasya...". Tapi semua itu tak bisa bertahan. Makin lama, ketika "detik demi detik" berjalan, terbentuklah batas, dan aku terpatok. Sang penyair tahu, "ada yang harus lepas", hingga "menjauh meluruh mengabur melebur membuyar memudar menghilang". Makin lama, terbentuk keterasingan, bahkan represi: Sebuah batas lebih tajam dari cadas sebuah diam lebih kelam dari kuburan pelan-pelan menyerap, menghisap seperti tuhan seperti pohon beringin besar di pekarangan rumah Yang menarik ialah bahwa bagi Zaim apa yang di luar batas itu bukanlah dengan sendirinya sesuatu yang indah, mudah, dan menyenangkan. Bahkan itu mungkin, seperti disebutnya dalam sebuah sajak yang lain, "hamparan negeri/yang mungkin tak kita mengerti." Dalam Sel, kemungkinan yang tinggal adalah berjalan di ruang sempit dan terkunci itu - antara pasrah dan resah. Tapi juga di luar, kita tahu tak ada jawaban Meskipun demikian, beberapa kali sajak-sajak Zaim menyarankan, pilihan terbaik tetap menampik kediaman. Ia dengan sangat jelas menggunakan alegori Ikarus untuk itu. Anak muda ini terbang, dengan sayap yang sederhana, tinggi, mendekati matahari: Tidak, tidak, tidak perlu tanya ke mana? Di ketinggian dengan sayap kembar sayap-sayap mimpi dan kerinduan aku tahu aku bukan layang-layang tak akan ada lagi benang menyeret kita ke kiri, ke kanan Cakrawala tak lagi mengerikan, "bahkan Olympia tertaklukkan", kata sajak Ikarus dengan jumawa, tanpa ironi. Sajak ini tahu, pada akhirnya sayap kembar yang dibanggakan Ikarus akan terbakar panas surya, tapi akhir itu tak membuatnya gentar: biarkan aku tinggi meninggi meski aku tahu mimpi ini akan hangus terbakar matahari Dalam soal ini, Zaim melanjutkan pelan yang kita temukan dalam puisi Indonesia tahun 1940-an, ketika Chairil Anwar dengan gagah dan nekad memilih meninggalkan taman yang sempit dan terbang dengan sebuah "non-stop flight", yang tak akan pernah mendarat, tak akan pernah mendapat. Kita ingat, sajak Chairil dan Rivai Apin berulang kali menyebut laut sebagai daerah kepergian, dan itu berarti pembebasan. Tapi Zaim, seperti Chairil, bukanlah seorang Odysseus. Dari Perang Troya yang bertahun-tahun, raja Ithaca ini berlayar jauh - dan kata "odyssey" dalam bahasa Inggris jadi sebuah metafor tentang perjalanan panjang yang penuh petualangan. Yang tampaknya dilupakan dalam metafor itu adalah bahwa perjalanan Odysseus yang termashur dalam dongeng Yunani kuno itu sebenarnya sebuah perjalanan pulang; dan akhirnya orang pemberani ini memang sampai kembali ke Ithaca, ke kediamannya. Ia memang akhirnya seorang raja dan suami, penguasa sebuah lokalitas dan rumah tangga. Juga seorang yang, dengan akal dan tipu dayanya, dengan tekad dan ikhtiar besarnya, dapat mengalahkan pelbagai kejutan, keganjilan dan kelainan yang ditemuinya sepanjang perjalanan. Dalam hal itu memang patut ia disebut sebagai prototipe "borjuasi", sang penakluk liyan. Emmanuel Lévinas membandingkan Odysseus dengan Ibrahim, sang nabi. Yang pertama adalah kisah kepulangan. Yang kedua kepergian yang tak mengacuhkan kembali. Yang pertama mengukuhkan "aku" dalam pergulatan dengan liyan - "aku" yang menemukan miliknya kembali. Yang kedua memenuhi panggilan liyan - terutama pada momen paradigmatik, ketika suara yang maha lain itu memintanya untuk memberikan miliknya yang terbaik, yang sebenarnya memang sesuatu yang tak bisa dimilikinya: anaknya. Ibrahim tak berumah; ia jadi aktuil kembali di sebuah zaman ketika "tak berumah" tak bisa disamakan dengan "tuna-wisma". Dalam kata "tuna-wisma" tersirat sebuah kekurangan ("tuna") dari yang sebuah kondisi normal, sementara keadaan "tak berumah" tak merupakan sesuatu gejala deprivasi. Bahkan "rumah" atau "kediaman" mengandung deprivasinya sendiri. Tidakkah kau tahu apakah luka itu? Tidak, ia tak akan kembali sekarat di kampung asal di mana tubuh-tubuh disembunyikan di mana matahari hanya membikin kusam tua dan akhirnya padam maka pada perbatasan ini antara dara dan kijang kencana ia mengatupkan diri memilih tak kembali tak pergi pada tebing sepi ini ia mencoba terus bertahan mengingat dan mengekalkan lumpur susu madu negeri khayalan --meski ada yang harus ia tinggalkan dan perlahan menjadi terlupakan-- Ada kemungkinan, bahwa dalam zaman ini, "tak berumah" tak akan menjadikan diri sebuah penangkal sebuah semesta yang dibangun oleh teknologi - terutama teknologi informasi -- yang sudah dipercakapkan Marshall MacLuhan hampir setengah abad yang lalu ketika ia berbicara tentang "manusia elektronik": nomad baru, sebagaimana manusia paleolithik dulu. Teknologi telah membentuk manusia tanpa akar dan sebab itu tanpa kedalaman - satu hal yang menyebabkan eulogia Lévinas terhadap ketak-berumahan tak sepenuhnya menarik. Tapi bagi Zaim, bukan citra "manusia elektronik" itu yang memukaunya. Manusia semacam itu terlampau terbiasa dengan terang dan kerapian. Sang penyair lebih bersatu dengan para pemabuk. Pernah, memang, kami cemas pada kelam pada gelap dan bayang-bayang pada hitam, pada semua yang tak jelas terhampar dan kami pun jadi pemuja suar saat matahari datang dan jalan-jalan tampak jelas terbentang dan kami merasa pasti ini semak, ini belukar ini duri, ini kerakal semua harus disingkirkan semua harus lenyap dari hamparan. Tapi ada yang tak kami perkirakan: setelah kota lapang, datar dan seragam suar jadi teramat menyilaukan. Tapi ada yang selalu saja tak tertangkal: terus dan terus semak dan belukar menjalar duri dan kerakal bermunculan bersama kembang bersama mawar-mawar yang kami semaikan lalu kami pun mulai belajar menerima remang, gelap, dan bayang-bayang hingga kami sadar terang yang terhampar senantiasa mencipta kembaran gelap, yang mekar lewat bayang-bayang hingga kami mulai menyukai remang saat semua seperti melayang memanjang menjelma bayang-bayang dan kami, mungkin juga mereka, akan terus dan terus meraba ini jalan apa gang ini menuju ke mana Tampak, pengembaraan puisi juga tak sama dengan perjalanan panjang Ibrahim. Sang patriakh, atau sang nabi, berada di jalan lurus iman yang terang. Puisi, seperti saya katakan di awal pengantar ini, selalu bergerak di pinggir tata simbolik. Ia tahu ada yang luput dari tata itu: sesuatu yang bergejolak dalam gelap bawah-sadar, sesuatu yang mabuk dalam hidup. Tentu, sajak-sajak Zaim bukan sajak dengan garis-garis yang mabuk. Tapi ia tetap sebuah statemen tentang pembebasan. TENTANG PENULIS Zaim Rofiqi lahir di Jepara, Jawa Tengah, 25 Juli 1979. Pernah mencicipi pendidikan sastra Indonesia di Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, selama 1 tahun, sebelum kemudian melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Menulis puisi, cerpen, esai, dan menerjemahkan buku. Puisi, cerpen, dan esainya telah terbit di berbagai media, dan buku terjemahannya antara lain: Terry Eagleton, Marxisme dan Kritik Sastra; Isaiah Berlin, Empat Esai tentang Kebebasan; dan Francis Fukuyama, Memperkuat Negara. Kini ia bekerja di Jakarta, sambil terus menyelesaikan studinya.

Kategori dan Rangking Bestseller:

Buku Lainnya oleh Zaim Rofiqi:
Halaman 1 dari 1
(Soft Cover)
oleh ZAIM ROFIQI DKK
Stock tidak tersedia

Pelanggan yang membeli buku ini juga membeli:
Halaman 1 dari 1
(Soft Cover)
oleh Nicko Krisna
Rp. 108.000
Rp. 91.800
Stock di Gudang Supplier
(Soft Cover)
oleh Andi Gunawan
Rp. 34.000
Rp. 27.200
Stock di Gudang Supplier
No Image Available
(Soft Cover)
oleh Hendry Ch Bangun
Rp. 22.000
Rp. 16.500
Stock di Gudang Supplier
No Image Available
(Soft Cover)
oleh Dimas Arika Mihardja
Rp. 45.000
Rp. 36.000
Stock di Gudang Supplier
No Image Available
(Soft Cover)
oleh Sitok Srengenge
Rp. 250.000
Rp. 212.500
Stock di Gudang Supplier
(Soft Cover)
oleh Emha Ainun Nadjib
Stock tidak tersedia
(Soft Cover)
oleh Emha Ainun Nadjib
Stock tidak tersedia
(Soft Cover)
oleh Emha Ainun Nadjib
Stock tidak tersedia
(Soft Cover)
oleh Ahmad Tohari
Stock tidak tersedia
(Soft Cover)
oleh Heru Prasetia, Edi Jatmiko
Stock tidak tersedia
(Soft Cover)
oleh Yon Thayrun
Stock tidak tersedia
(Soft Cover)
oleh Syafiq Basri
Stock tidak tersedia
(Soft Cover)
oleh Mardi Luhung
Stock tidak tersedia
No Image Available
(Soft Cover)
oleh St. Takdir Alisjahbana
Stock tidak tersedia
No Image Available
(Soft Cover)
oleh Kurniawan Junaedhie
Stock tidak tersedia
(Soft Cover)
oleh Tulis Sutan Sati
Stock tidak tersedia
No Image Available
(Soft Cover)
oleh Abdoel Moeis
Stock tidak tersedia
No Image Available
(Soft Cover)
oleh Noor H. Dee
Stock tidak tersedia
No Image Available
(Soft Cover)
oleh Amitav Gosh
Stock tidak tersedia
(Hard Cover)
oleh M. Fadjroel Rachman
Stock tidak tersedia

Review Konsumen:
5 -
4 -
3 -
2 -
1 -
Jadilah yang Pertama untuk Review
Tulis Review Anda
Tulis Review Anda