Mayoritas Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah (PA/MS) dalam mengadili sengketa hak pengasuhan anak (hadhanah) yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun menetapkan hak pengasuhan anak tersebut berada 'pada ibunya. Penetapan tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: "Engkau lebih berhak terhadap anakmu selama engkau belum kawin", namun ada kalanya Hakim PA tidak menerapkan ketentuan tersebut, dengan menetapkan hak pengasuhan anak tersebut berada pada ayahnya. Adapun permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah tentang orang tua yang paling berhak mengasuh anak yang belum mumayyiz pasca perceraian, alasan-alasan Hakim PA dalam memberikan hak pengasuhan anak yang belum mumayyiz kepada ayah pasca perceraian, dan akibat hukum dari putusan MA yang memberikan hak pengasuhan anakyang belum mumayyiz kepada ayah pasca perceraian.
Pada dasarnya pengasuhan anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya, namun dalam keadaan tertentu dapat ditetapkan pada ayahnya, dengan alasan di antaranya:karena ibu melalaikan tanggung jawabnya, ibu berkelakuan buruk sekali, ibu pindah agama (murtad), dan ibu sudah menikah lagi dengan laki-laki lain. Keempat alasan tersebut bermuara pada kepentingan dan kemaslahatan anak, yang didasarkan pada aspek kualitas, integritas, moralitas, kesehatan dan kemampuan untuk mengasuh dan memelihara anak agar anak tersebut terlindungi baik secara preventif maupun represif, melalui penemuan hukum baik melalui metode interpretasi maupun argumentasi terhadap Pasal 105 huruf a KHI dan hadits Nabi Muhammad SAW tersebut. Berdasarkan temuan-temuan tersebut dapat direkomendasi-kan bahwa agar ketentuan Pasal 105 huruf a KHI direvisi dengan menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai parameter utama dalam menentukan pemegang hak asuh anak, agar Hakim PA lebih dalam lagi dalam menggali dan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut sehingga kepentingan dan kemaslahatan bagi anak dapat terealisasi, dan diharapkan MA mengeluarkan kebijakan yang berisi bahwa dalam memeriksa dan mengadili sengketa anak yang belum mumayyiz harus memperhatikan aspek-aspek tersebut demi terwujudnya kepentingan dan kemaslahatan yang terbaik bagi anak.