MENGAPA HUMANISME, suatu paham yang menitikberatkan pada manusia, kemampuan kodratinya, dan nilai-nilai kehidupan duniawi perlu dibicarakan kembali?
Sejak abad ke-14 gerakan humanis modern tumbuh memberikan penafsiran rasional yang mempersoalkan monopoli agama dan negara terhadap tafsir kebenaran. Humanisme sekular memberi kita keyakinan bahwa kehidupan “dunia-atas-sana” tak lebih penting daripada kehidupan “dunia-bawah-sini”.
Namun, humanisme tak luput dari kritik. Ketika humanisme menuntun pada suatu kemanusiaan tanpa Tuhan, yaitu keadaan ketika manusia bermain sebagai Tuhan, Hiroshima, Gulag, Killing Fields, Sebrenica, dan puluhan tempat pembunuhan massal lain pada abad ke-20 menjadi tak terhindarkan. Di negeri kita, tragedi kemanusiaan juga tak sepi.
Lalu, apakah itu berarti humanisme sudah usang? Ketika kini kebangkitan agama-agama sedang berlangsung mulus tak banyak hambatan dan nilai-nilai universal makin relatif, hikmat apakah yang masih dapat kita pelajari dari humanisme? Bagaimanakah sosok dan peran humanisme dalam masyarakat yang menjadi majemuk juga karena agama-agama seperti masyarakat indonesia?
Buku kecil ini mengurai dengan jernih pengertian humanisme, perkembangannya, dan berbagai kritik terhadap humanisme. Tidak berhenti di situ, penulis juga menawarkan tafsir baru atas paham tersebut, yang disebutnya sebagai “Humanisme Lentur”.
Dr. F. Budi Hardiman, lahir di Semarang, 31 Juli 1962. Pada tahun 1997 meraih gelar Magister Artrium dan pada 2001 gelar Doktor der Philosophie pada Hochschule fur Philosophie Munich, Jerman. Sekarang mengajar di STF. Driyarkara dan Universitas Pelita Harapan, dan aktif menulis untuk berbagai media cetak. Baru 7 buku filsafat yang ditulisnya dan 8 buku yang diterjemahkannya.