"Di hadapan syekh, murid laksana mayat terlentang yang patuh total untuk dimandikan." Di hadapan Khidhir, Musa harus tunduk tanpa reserve . Ia tak boleh mempertanyakan berbagai tindakan aneh sang guru . Seorang murid harus membutakan dirinya dan menjadi majnun (gila). Ia mesti dengan teguh membenarkan pernyataan sang syekh, senyentrik apa pun pernyataan itu. "Seandainya Muhammad berkata bahwa matahari terbit dari barat," teriak Abu Bakar al-Shiddiq, "maka saya adalah orang pertama yang membenarkannya." Bahkan, seperti diungkapkan Hafizh, "seandainya gurumu memerintahkan untuk melumuri sajadahmu dengan anggur, lakukanlah! Dapatkah kita menemukan guru yang bisa dipatuhi sebulat-bulatnya? S iapa yang bisa menjamin bahwa mursyid tarekat kita benar-benar pernah "bertemu" Tuhan dan bisa membimbing ke arah-Nya, laksana Khidhir-nya Musa atau Jibril-nya Muhammad? Sangat mungkin guru yang kita anggap sebagai Khidir itu ternyata setan yang berjubah Jibril. Perbedaan antara keduanya amat tipis. Buku ini memperkenalkan "tarekat" baru untuk ditempuh oleh mereka yang ingin menemui Tuhan di zaman modern. Berbeda dengan tarekat konvensional, "tarekat" ini tidak terikat pada loyalitas buta pada syekh tertentu; "tarekat" ini lebih rasional dan, karenanya, lebih aman . Penulisnya, yang berpengalaman dalam mengelola sebuah pusat kajian tasawuf, membekali pembaca dengan petunjuk-petunjuk kritis untuk mengidentifikasi dengan cermat mana tasawuf sejati dan mana tasawuf palsu. B uku ini menawarkan pemahaman progresif dalam membaca konsep-konsep dalam tarekat, seperti zawiyah, zikir, meditasi, khalwat, dan keberadaan tahta Tuhan.