Ketersediaan | : | Stock tidak tersedia |
Format | : | Soft Cover |
ISBN13 | : | 9786024240363 |
Tanggal Terbit | : | 6 Juni 2016 |
Bahasa | : | Indonesia |
Penerbit | : | KPG |
Halaman | : | 160 |
Dimensi | : | 135 mm x 200 mm |
"SABTU, 23 Oktober 2010, lava dari kawah Merapi mulai mengalir ke Kali Gendol. Di Dusun Kinahrejo tidak ada orang yang memperhatikan gejala alam itu. Kecuali Bu Pujo yang tampak gelisah. Suaminya malah keluar rumah karena Bu Pujo mulai ngobrol ngalor-ngidul lagi. Hanya si perempuan waskita ini yang masih bisa (berbicara) bahasa purba itu. Sesudah kematiannya dalam letusan, siapa lagi akan ngomong ngalor-ngidul?"
Ngalor-ngidul, kata dalam bahasa Jawa ini kini lazim kita beri makna tutur yang tak tersambung, ngaco belo, pertanda ketakwarasan akal. Namun, dalam Babad Ngalor-Ngidul ini, penulis memperlihatkan ngalor-ngidul mengandung makna yang berbeda, yaitu suatu percakapan mesra yang purba antara yang di utara (lor) dan yang di selatan (kidul). Dalam konteks masyarakat Jogjakarta yang telah turun-temurun hidup dalam rengkuhan Laut Selatan dan Gunung Merapi, ngalorngidul, tak lain adalah suatu hubungan timbal balik, saling bergantung tanpa henti antara geleduk awan panas di utara dan gelora ombak laut di selatan.
Melanjutkan dongengnya, Beringin Putih, penulis buku ini membawa kita kembali ke masa sepuluh tahun silam, sekira Mei 2006, ketika gempa menimpa selatan Jogja sampai saat-saat terakhir Si Juru Kunci Merapi. Lindu dan letusan itu kita namakan "bencana alam". Padahal mereka tidak lain dari percakapan lama yang terlupakan: ngalor-ngidul.