Fadjroel Rachman menuliskan biografi negeri (manusia) yang kacau, kelam, sesak, menikam, dan menyayat-nyayat, yang menyeretnya ke dalam lubuk sajak yang bergegas, berlarian di antara kusut, riuh, letih, dan perih dunia (peradaban). Membaca Sejarah Lari Tergesa adalah melihat wajah sendiri yang menggigil dan perih dalam cermin telanjang. Menggerayangi tubuh sendiri yang gemetar di antara nafas yang tak lepas. Alangkah sakit berpayah-payah mengenali manusia dalam biografi yang berlarian itu. Namun, alangkah menakjubkan! Saya menikmati perjalanan yang melelahkan dan menakutkan itu di sepanjang sajak dalam buku ini. Sebab, pada setiap lekuk dan ceruknya, saya seperti menyelinap dan mengambil tempat, dan tak mudah untuk beranjak keluar.
Dorothea Rosa Herliany
Membaca Sejarah Lari Tergesa ibarat membaca Fadjrul lewat sisi lainnya. Tidak sarat dengan buku-buku referensi, tapi justru menjadi sangat humanis: lirih, letih, bukan sentimental. Tidak kenal berbau "kiri" (atapun "kiri tengah") tapi tetap tajam dan sinis. Fadjrul mencoba menyentakkan kita bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang menanti untuk diwujudkan: melalui rumah Indonesia Baru, melalui masyarakatnya yang lebih madani.
Ira Koesno
Apa pun bentuknya, kesusastraan bisa menahan seorang pejuang dari kemungkinan menjadi pahlawan, setelah penjara, institusi yang sia-sia itu, menganiayanya. Karena kesusastraan bukan sabda seorang yang menjadi agung setelah melewati masa pertapaan, melainkan sebuah proses yang mengakui kebutuhan untuk sama-sama menemukan sejumlah makna, dan dengan demikian saling berbicara.
Goenawan Mohamad
Saya mendukung angkatan muda yang menulis. Tapi saya sudah sulit membacanya, apalagi membaca puisi.
Pramoedya Ananta Toer