normal
20%
OFF
Tambah ke Keranjang Belanja
Atau
Tambah ke Daftar Keinginan

HABIB ITU PERAN BUKAN HANYA KETURUNAN
oleh Musa Alkadzim, Edy Y. Syarif

Harga Resmi : Rp. 100.000
Harga : Rp. 80.000 (20% OFF)

Ketersediaan : Stock di Gudang Supplier

Format : Soft Cover
ISBN13 : 9786027926653
Bahasa : Indonesia
Penerbit : Dar! Mizan
Dimensi : 140 mm x 210 mm



Deskripsi:

Perjalanan hidup Ustaz Husein—demikian biasa disapa—yang penuh gairah dan idealisme telah mempertemukannya dengan sejumlah tokoh nasional dan internasional. Kehadirannya di Konstituente mewakili Masyumi kerap membawanya berinteraksi dengan para tokoh pendiri bangsa. Hubungannya dengan tokoh-tokoh Islam di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Anak Benua India membuka wawasan global baginya. Ia bersahabat dengan ulama Mekkah, Sayid Muhammad Alwi Al-Maliki, dan juga berkorespondensi dengan tokoh-tokoh Islam mancanegara seperti petinju legendaris Muhammad Ali, Abul Hasan Al-Nadwi, Yusuf Al-Qardhawi, dan belakangan dengan Imam Khomeini. 

 

Dia seorang dai cum aktivis, yang tidak hanya tertarik pada bidang-bidang ilmu agama, tapi juga bidang-bidang ilmu umum dan pemikiran dunia, terutama ideologi-ideologi yang berseteru saat itu. Barangkali itulah yang membuat ustaz satu ini disukai kalangan muda dan aktivis pergerakan. Itu pula yang menyebabkannya rajin menambah wawasan keilmuan dan politik dunia. Di salah satu khotbahnya di awal 1970-an, tatkala Indonesia sedang bergiat menarik minat investor asing, dia berani mengusulkan strategi perjuangan yang radikal: “Jangan jual tanah kalian kepada investor asing agar kalian tidak jadi miskin di tanah kelahiran kalian sendiri.” Dalam dirinya ada dialektika yang kaya. Percampuran dari berbagai unsur yang membantunya menerobos sekat-sekat yang mengungkung sesama. Satu harapan yang terus berpijar dalam dada salah satu putra bangsa yang ikut mewarnai sejarah Indonesia hingga ajal menjemputnya pada 14 Januari 1994, yakni persatuan di antara berbagai komponen bangsa, khususnya di kalangan Umat Islam, dalam tujuan dan langkah.

">

Buku ini ingin menggambarkan sosok ulama yang berpijak pada falsafah Islam yang berdiri di atas aksi, bukan berdiri di atas gelar, nasab, keturunan dan keunggulan-keunggulan warisan lainnya. Bagi sosok yang dibicarakan dalam buku ini, Islam adalah agama ilmu dan amal. Ilmu merupakan petunjuk Ilahi sementara amal ialah usaha manusia untuk berjalan di muka bumi ini menggunakan ilmu dari petunjuk tersebut. Betapapun indah dan mulianya suatu gelar, sebagaimana judul buku ini, ia tidak akan berarti tanpa diisi dengan peran dan kiprah yang nyata. Tokoh utama buku ini, dengan demikian, hendak menghadirkan Islam sebagai paradigma aksi, bukan sebagaimana yang hendak digambarkan sebagian pakar Islam sebagai tradisi diskursif (adu wacana dan perdebatan) semata-mata.

Perjalanan hidup Ustaz Husein—demikian biasa disapa—yang penuh gairah dan idealisme telah mempertemukannya dengan sejumlah tokoh nasional dan internasional. Kehadirannya di Konstituente mewakili Masyumi kerap membawanya berinteraksi dengan para tokoh pendiri bangsa. Hubungannya dengan tokoh-tokoh Islam di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Anak Benua India membuka wawasan global baginya. Ia bersahabat dengan ulama Mekkah, Sayid Muhammad Alwi Al-Maliki, dan juga berkorespondensi dengan tokoh-tokoh Islam mancanegara seperti petinju legendaris Muhammad Ali, Abul Hasan Al-Nadwi, Yusuf Al-Qardhawi, dan belakangan dengan Imam Khomeini. 

Dia seorang dai cum aktivis, yang tidak hanya tertarik pada bidang-bidang ilmu agama, tapi juga bidang-bidang ilmu umum dan pemikiran dunia, terutama ideologi-ideologi yang berseteru saat itu. Barangkali itulah yang membuat ustaz satu ini disukai kalangan muda dan aktivis pergerakan. Itu pula yang menyebabkannya rajin menambah wawasan keilmuan dan politik dunia. Di salah satu khotbahnya di awal 1970-an, tatkala Indonesia sedang bergiat menarik minat investor asing, dia berani mengusulkan strategi perjuangan yang radikal: “Jangan jual tanah kalian kepada investor asing agar kalian tidak jadi miskin di tanah kelahiran kalian sendiri.” Dalam dirinya ada dialektika yang kaya. Percampuran dari berbagai unsur yang membantunya menerobos sekat-sekat yang mengungkung sesama. Satu harapan yang terus berpijar dalam dada salah satu putra bangsa yang ikut mewarnai sejarah Indonesia hingga ajal menjemputnya pada 14 Januari 1994, yakni persatuan di antara berbagai komponen bangsa, khususnya di kalangan Umat Islam, dalam tujuan dan langkah.

">

Buku ini ingin menggambarkan sosok ulama yang berpijak pada falsafah Islam yang berdiri di atas aksi, bukan berdiri di atas gelar, nasab, keturunan dan keunggulan-keunggulan warisan lainnya. Bagi sosok yang dibicarakan dalam buku ini, Islam adalah agama ilmu dan amal. Ilmu merupakan petunjuk Ilahi sementara amal ialah usaha manusia untuk berjalan di muka bumi ini menggunakan ilmu dari petunjuk tersebut. Betapapun indah dan mulianya suatu gelar, sebagaimana judul buku ini, ia tidak akan berarti tanpa diisi dengan peran dan kiprah yang nyata. Tokoh utama buku ini, dengan demikian, hendak menghadirkan Islam sebagai paradigma aksi, bukan sebagaimana yang hendak digambarkan sebagian pakar Islam sebagai tradisi diskursif (adu wacana dan perdebatan) semata-mata.

 

Perjalanan hidup Ustaz Husein—demikian biasa disapa—yang penuh gairah dan idealisme telah mempertemukannya dengan sejumlah tokoh nasional dan internasional. Kehadirannya di Konstituente mewakili Masyumi kerap membawanya berinteraksi dengan para tokoh pendiri bangsa. Hubungannya dengan tokoh-tokoh Islam di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Anak Benua India membuka wawasan global baginya. Ia bersahabat dengan ulama Mekkah, Sayid Muhammad Alwi Al-Maliki, dan juga berkorespondensi dengan tokoh-tokoh Islam mancanegara seperti petinju legendaris Muhammad Ali, Abul Hasan Al-Nadwi, Yusuf Al-Qardhawi, dan belakangan dengan Imam Khomeini. 

Dia seorang dai cum aktivis, yang tidak hanya tertarik pada bidang-bidang ilmu agama, tapi juga bidang-bidang ilmu umum dan pemikiran dunia, terutama ideologi-ideologi yang berseteru saat itu. Barangkali itulah yang membuat ustaz satu ini disukai kalangan muda dan aktivis pergerakan. Itu pula yang menyebabkannya rajin menambah wawasan keilmuan dan politik dunia. Di salah satu khotbahnya di awal 1970-an, tatkala Indonesia sedang bergiat menarik minat investor asing, dia berani mengusulkan strategi perjuangan yang radikal: “Jangan jual tanah kalian kepada investor asing agar kalian tidak jadi miskin di tanah kelahiran kalian sendiri.” Dalam dirinya ada dialektika yang kaya. Percampuran dari berbagai unsur yang membantunya menerobos sekat-sekat yang mengungkung sesama. Satu harapan yang terus berpijar dalam dada salah satu putra bangsa yang ikut mewarnai sejarah Indonesia hingga ajal menjemputnya pada 14 Januari 1994, yakni persatuan di antara berbagai komponen bangsa, khususnya di kalangan Umat Islam, dalam tujuan dan langkah.

">

Buku ini ingin menggambarkan sosok ulama yang berpijak pada falsafah Islam yang berdiri di atas aksi, bukan berdiri di atas gelar, nasab, keturunan dan keunggulan-keunggulan warisan lainnya. Bagi sosok yang dibicarakan dalam buku ini, Islam adalah agama ilmu dan amal. Ilmu merupakan petunjuk Ilahi sementara amal ialah usaha manusia untuk berjalan di muka bumi ini menggunakan ilmu dari petunjuk tersebut. Betapapun indah dan mulianya suatu gelar, sebagaimana judul buku ini, ia tidak akan berarti tanpa diisi dengan peran dan kiprah yang nyata. Tokoh utama buku ini, dengan demikian, hendak menghadirkan Islam sebagai paradigma aksi, bukan sebagaimana yang hendak digambarkan sebagian pakar Islam sebagai tradisi diskursif (adu wacana dan perdebatan) semata-mata.

Perjalanan hidup Ustaz Husein—demikian biasa disapa—yang penuh gairah dan idealisme telah mempertemukannya dengan sejumlah tokoh nasional dan internasional. Kehadirannya di Konstituente mewakili Masyumi kerap membawanya berinteraksi dengan para tokoh pendiri bangsa. Hubungannya dengan tokoh-tokoh Islam di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Anak Benua India membuka wawasan global baginya. Ia bersahabat dengan ulama Mekkah, Sayid Muhammad Alwi Al-Maliki, dan juga berkorespondensi dengan tokoh-tokoh Islam mancanegara seperti petinju legendaris Muhammad Ali, Abul Hasan Al-Nadwi, Yusuf Al-Qardhawi, dan belakangan dengan Imam Khomeini. 

Dia seorang dai cum aktivis, yang tidak hanya tertarik pada bidang-bidang ilmu agama, tapi juga bidang-bidang ilmu umum dan pemikiran dunia, terutama ideologi-ideologi yang berseteru saat itu. Barangkali itulah yang membuat ustaz satu ini disukai kalangan muda dan aktivis pergerakan. Itu pula yang menyebabkannya rajin menambah wawasan keilmuan dan politik dunia. Di salah satu khotbahnya di awal 1970-an, tatkala Indonesia sedang bergiat menarik minat investor asing, dia berani mengusulkan strategi perjuangan yang radikal: “Jangan jual tanah kalian kepada investor asing agar kalian tidak jadi miskin di tanah kelahiran kalian sendiri.” Dalam dirinya ada dialektika yang kaya. Percampuran dari berbagai unsur yang membantunya menerobos sekat-sekat yang mengungkung sesama. Satu harapan yang terus berpijar dalam dada salah satu putra bangsa yang ikut mewarnai sejarah Indonesia hingga ajal menjemputnya pada 14 Januari 1994, yakni persatuan di antara berbagai komponen bangsa, khususnya di kalangan Umat Islam, dalam tujuan dan langkah.


Kategori dan Rangking Bestseller:

Review Konsumen:
5 -
4 -
3 -
2 -
1 -
Jadilah yang Pertama untuk Review
Tulis Review Anda
Tulis Review Anda