Korban kejahatan dalam kajian teoretis dan praktik peradilan pidana posisinya teramat asing dan diasingkan. Akan tetapi walaupun demikian korban kejahatan peranannya teramat penting dalam proses pidana. Bertitik tolak dari aspek demikian, maka seharusnya sistem peradilan pidana pada umumnya dan peradilan pidana di Indonesia pada khususnya hendaknya memberikan ruang gerak yang cukup luas terhadap eksistensi korban tersebut.
Filsafat pemidanaan yang dijatuhkan hakim Indonesia yang bersifat integratif mencakup dimensi legal justice, social justice dan moral justice. Oleh karena itu, aspek ini berkorelasi dengan kebijakan hukum pidana yang lebih mengkedepankan sarana penal dan non penal sehingga penegakan hukum yang dilakukan dapat mencakup segala lapisan masyarakat.
Walaupun korban kejahatan posisinya teramat asing dan diasingkan dalam sistem peradilan pidana maka untuk kedepan diharapkan korban kejahatan diberdayakan dengan diberikan melakukan upaya hukum peninjauan kembali sebagai dikenal dalam praktik peradilan di Indonesia telah dilakukan baik dalam kualitasnya sebagai saksi korban, pihak ketiga yang berkepentingan, Penasihat Hukum yang mewakili terdakwa maupun oleh Jaksa Penuntut Umum yang mewakili korban dan negara. Apabila dikaji dari kebijakan formulatif yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka pengertian korban dipergunakan terminologis berbeda-beda yaitu sebagai pelapor (Pasal 108 KUHAP), pengadu (Pasal 72 KUHP), saksi korban (Pasal 160 KUHAP), pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 80, 81 KUHAP), dan pihak yang dirugikan (Pasal 98, 99 KUHAP).
Sebagai komparative maka di negara Republik Rakyat Cina (RRC) korban kejahatan dapat melakukan upaya hukum peninjauan kembali dengan syarat limitatif secara ketat hanya berupa adanya "Novum", yang lazimnya disebut dengan terminologi "Zheng Ju", dimana ditentukan dalam Article 203, Article 204 Criminal Procedure Law Of The People's Republic of China Nomor 64 yang mulai berlaku sejak tanggal 17 Maret 1996.
Dengan titik tolak dan dimensi untuk memperkaya khazanah literatur di tanah air pada umumnya maka buku "Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoretis dan Praktik Peradilan", dibuat dengan harapan dapat dijadikan acuan baik bagi mahasiswa hukum, praktisi, akademisi, pengamat hukum dan lain sebagainya.