Perjalanan hidup Sutan Sjahrir sangat unik sekaligus mengenaskan. Seorang pemikir yang mendahului zamannya, yang memandang politik bukan sebagai proyek, tetapi kehidupan itu sendiri. Ia seorang demokrat sejati dan pejuang kemanusiaan yang berpandangan bahwa nasionalisme harus tunduk pada kepentingan demokrasi. Tanpa demokrasi nasionalisme akan kembali bersekutu dengan feodalisme yang mengarah fasisme.
Maka, lahirlah apa yang dinamakannya sebagai sosialisme-demokrasi atau sosialisme kerakyatan. Kunci sosialisme kerakyatan adalah â€kemanusiaanâ€. Menurut Sjahrir, kemanusiaan ialah kepercayaan pada persamaan, keadilan, kerja sama sesama manusia.
Rosihan Anwar menulis sosok Sutan Sjahrir dengan gaya yang khas dan sangat â€hidupâ€. Sebagai saksi sejarah, Rosihan Anwar mengalami sendiri, berperan aktif sebagai wartawan, dan menyaksikan Sutan Sjahrir sebagai politikus bahkan setelah Sjahrir tidak berada lagi di tengah pergumulan politik di tahun 1950-an.
Rosihan Anwar menyusun sosok Sjahrir dengan gaya sebuah drama, lengkap dengan premis atau tema, gagasan sentral, dan tujuan. Premis â€lakon Sjahrir†yang dirumuskannya berbunyi: â€Cita-cita luhur membawa kepada maut, tapi juga harapanâ€. Dalam buku ini kehidupan Sjahrir digambarkan pula secara visual melalui lebih dari seratus foto, yang sebagian belum pernah dipublikasikan.
H. Rosihan Anwar (lahir di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922; umur 87 tahun) adalah tokoh pers Indonesia, meski dirinya lebih tepat dikatakan sebagai sastrawan bahkan budayawan. Rosihan yang memulai karier jurnalistiknya sejak berumur 20-an, tercatat telah menulis 21 judul buku dan mungkin ratusan artikel di hampir semua koran dan majalah utama di Indonesia dan di beberapa penerbitan asing.
Anak keempat dari sepuluh bersaudara putra Anwar Maharaja Sutan, seorang demang di Padang, Sumatera Barat ini menyelesaikan sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Ia pun melanjutkan pendidikannya ke AMS di Yogyakarta. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar negeri, termasuk di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat.
Rosihan telah hidup dalam 'multi-zaman'. Di masa perjuangan, dirinya pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukitduri, Jakarta Selatan. Kemudian di masa Presiden Soekarno koran miliknya, Pedoman pada 1961 ditutup oleh rezim saat itu. Namun di masa peralihan pemerintah Orde Baru, Rosihan mendapat anugerah sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama. Sayangnya rezim Orde Baru ini pun menutup Pedoman pada tahun 1974-kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang ...