Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet."
*** "Nada komedi-satirnya cukup kuat dalam Corat-coret di Toilet. Cerdas juga usahanya mengangkat hal kecil yang remeh-temeh menjadi problem kemanusiaan." - Maman S. Mahayana; Media Indonesia.
"I decided to translate Corat-coret di Toilet not only because it is one of Eka's best-known short stories, but because it is very blackly funny. It catches perfectly the atmosphere. of student life in Indonesia at the start of the new century, as the brief promise of Reformasi was being extinguished by gangsterism, cynicism, greed, corruption, stupidity, and mediocrity. It also mirrors beautifully the bizarre lingo shared by ex-radicals, sexual opportunists, young inheritors, of the debased culture of the New-Order era, and anarchists avant la lettre. Finally, it shows Eka's gift for startling imagery, sharp and unexpected changes of tone, and his 'extra-dry' sympathy for the fellow-members of his late-Suharto generation." - Benedict R. O'G. Anderson; Indonesia.
Eka Kurniawan lahir di sebuah desa, dua jam dari Tasikmalaya, 28 November 1975 dan tinggal di sana dengan keempat kakek-neneknya. Desa itulah yang menjadi pijakan awal O Anjing. Beberapa bahan lainnya diperoleh dari tempat lain: ia mengikuti orangtuanya tinggal di perkebunan karet di Cilacap, sebelum mereka pindah lagi ke kota kecil Pangandaran.Di kota itulah, tepatnya ketika masuk SMPN 1 Pangandaran, keinginan untuk menulis pertama kali muncul. Barangkali didorong oleh perkenalannya dengan buku bacaan yang disewakan oleh taman bacaan yang berkeliling dengan sepeda. Puisi pertamanya muncul di majalah anak-anak Sahabat. Ia juga menulis cerpen-cerpen lucu untuk dibaca teman-temannya. Sekolahnya dilanjutkan ke SMAN 1 Tasikmalaya dan tinggal bersama bibinya. Di sana ia lebih banyak di perpustakaan sekolah, menulis di rumah (ayahnya menghadiahinya mesin tik portable karena berhasil meraih lima besar lulusan terbaik) hingga kemudian ia merasa bosan. Ia memulai perjalanan selama berminggu-minggu melintasi kota-kota hingga Jakarta, kemudian berbelok ke timur melewati Cirebon, Tegal, dan Purwokerto. Ketika ia kembali, sekolah telah mengeluarkannya. Ia kembali ke Pangandaran dan masuk SMA PGRI, satu-satunya sekolah yang mau menerimanya tanpa harus mengulang kelas. Selama empat semester ia berhasil mempertahankan ranking pertama tanpa kehilangan kegemarannya untuk membolos; ia suka menjelajahi daerah-daerah sekitar. Tempat favoritnya adalah rawa-rawa Segara Anakan (tempat ...