Sinopsis Buku:
Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet.
Prolog:
Beberapa tahun sebelum aksi-aksi paling subversif, Tuan Putri masih mengingat pertemuan dirinya dengan si orang menyebalkan itu; orang yang dengan kurang ajar membuatnya menunggu dan bersiap menjadi perawan tua. Ia sedang duduk di sana, di samping tangga dengan wajah cemberut, ketika Tuan Putri menghampirinya dan mencoba menghibur hanya karena Tuan Putri benci melihat wajah kusut seperti itu. Si laki-laki menoleh, lakilaki yang telah memutuskan tanggal 10 April sebagai hari perkawinan mereka dan berkata bahwa kau cantik, ia memang kurang ajar, sebelum keluhan yang sesungguhnya keluar: ia seperti kesakitan bicara tentang buku Immanuel Kant yang dimakan kutu buku atau tikus, dengan halaman yang lepas-lepas dan sebagian bab bahkan hilang, serta kertas yang patah-patah di perpustakaan kami. Ia bilang buku seperti itu tak layak dicuri dan itu yang membuatnya tampak tak berbahagia.
Profil Penulis:
Eka Kurniawan lahir di Tasikmalaya, 1975. Menyelesaikan studi dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, 1999. Di tahun yang sama, ia menerbitkan buku pertamanya Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Novelnya meliputi Cantik Itu Luka (2002), Lelaki Harimau (2004), dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014). Kumpulan cerita pendeknya yang lain adalah Cinta Tak Ada Mati (2005).
Eka Kurniawan lahir di sebuah desa, dua jam dari Tasikmalaya, 28 November 1975 dan tinggal di sana dengan keempat kakek-neneknya. Desa itulah yang menjadi pijakan awal O Anjing. Beberapa bahan lainnya diperoleh dari tempat lain: ia mengikuti orangtuanya tinggal di perkebunan karet di Cilacap, sebelum mereka pindah lagi ke kota kecil Pangandaran.Di kota itulah, tepatnya ketika masuk SMPN 1 Pangandaran, keinginan untuk menulis pertama kali muncul. Barangkali didorong oleh perkenalannya dengan buku bacaan yang disewakan oleh taman bacaan yang berkeliling dengan sepeda. Puisi pertamanya muncul di majalah anak-anak Sahabat. Ia juga menulis cerpen-cerpen lucu untuk dibaca teman-temannya. Sekolahnya dilanjutkan ke SMAN 1 Tasikmalaya dan tinggal bersama bibinya. Di sana ia lebih banyak di perpustakaan sekolah, menulis di rumah (ayahnya menghadiahinya mesin tik portable karena berhasil meraih lima besar lulusan terbaik) hingga kemudian ia merasa bosan. Ia memulai perjalanan selama berminggu-minggu melintasi kota-kota hingga Jakarta, kemudian berbelok ke timur melewati Cirebon, Tegal, dan Purwokerto. Ketika ia kembali, sekolah telah mengeluarkannya. Ia kembali ke Pangandaran dan masuk SMA PGRI, satu-satunya sekolah yang mau menerimanya tanpa harus mengulang kelas. Selama empat semester ia berhasil mempertahankan ranking pertama tanpa kehilangan kegemarannya untuk membolos; ia suka menjelajahi daerah-daerah sekitar. Tempat favoritnya adalah rawa-rawa Segara Anakan (tempat ...