Kita bukan barang rental Pah! Seminggu di sini seminggu di sana!" kata putraku Radit ketus sambil meraih punggung tanganku lalu mengecupnya. Untuk pertama kalinya aku lihat kebencian, Kesulitan, kepahitan di kedua matanya.

Radit memang bukan anak-anak lagi. Tubuhnya sudah hampir sama tingginya denganku. Suaranya sudah berat dan bahunya kokoh sama persis denganku. Baru saja setahun yang lalu kami merayakan kelulusannya dari SMP. Siapa sangka, setelah dia menginjak kelas dua SMA. Aku justru berpisah dengan Ibunya. Anak itu begitu keras, sama kerasnya denganku. Jika aku tolak keinginannya, dia pasti akan lebih marah denganku.

Pun, keputusan ini pasti tidak datang begitu saja. Mereka pasti kecewa dengan Risa, Ibu tiri mereka yang sejak tadi sibuk membanding-bandingkan dirinya dengan mantan istriku itu.

"Papah antar ya," kataku seraya mengambil kunci mobil.
"Tidak usah Pah! Adit sudah pesan grab!"
"Bahaya Nak!"
"Radit bisa!" lanjutnya lagi ketus membuat dadaku bergemuruh, terpancing emosi. Ingin membentak aku takut jiwanya semakin labil.

Sikapnya yang tak lagi hormat padaku adalah salah satu masalah dari kesekian masalah yang kuhadapi, Radit yang menjadi keras kepala, adiknya Fajar yang menjadi pendiam, juga Keisya putriku yang mendadak menjadi sangat posesif.