Pada mulanya adalah pertanyaan, “Benarkah Tuhan pernah tertawa?”. Maka, jawabnya akan mengantarkan pada peristiwa-peristiwa-mengguncangkan di sebuah biara. Kematian datang, dan tragisnya, kehancuran pun adalah jawab dari segalanya. Begitulah Umberto Eco—novelis, semiolog, dan seorang ahli Abad Pertengahan—menulis "The Name of The Rose".
Seorang biarawan di Biara Melk tewas. Mayatnya ditemukan di tepi jurang. Ketakutan pun menjalar di benak-benak biarawan-biarawan lain. Kebetulan pula, di sana akan diadakan pertemuan menyangkut konflik besar antara kelompok Fransiskan dengan kelompok Paus. Kepala biara yang cemas akan hal itu mengundang William Baskerville untuk mengusutnya.
Dunia Kristen saat itu terpecah antara kelompok Fransiskan (yakni mereka yang dekat dengan Raja) dan kelompok Paus. Biara Melk sendiri dianggap sebagai tempat netral di mana dialog bisa dilakukan dengan kepala biaranya diharapkan sebagai mediator. Selain itu, Raja pun secara pribadi menunjuk William tersebut sebagai pendamai antara kedua belah pihak.
William adalah seorang Inggris dengan tradisi intelektual Oxford. Ia dulunya seorang inkuisitor. Tugasnya adalah meneliti kasus-kasus bid`ah dalam Kristen. Meneliti—dan bukan memaksa seseorang mengakui kebid`ahan yang dituduhkan padanya. Tapi jabatan itu ditinggalkannya, karena menggejalanya kecenderungan terakhir tadi dalam lembaga inkuisisi.
Ke biara tersebut, William mengajak-serta muridnya, Adso. Yang terakhir ini adalah seorang biarawan muda Fransiskan. Bersama gurunya, Adso hanya menghabiskan tujuh hari di biara tersebut, yang selain
... Baca Selengkapnya