Pemaknaan kembali kembali kopi, Buddha, Herman, surat tak tarkirimkan, cinta sejenis yang manis atau apa pun, membuktikan Dee tetap memesona. Kalau kemarin panitia Nobel sastra masih maju mundur dengan nama Pramoedya, sekarang bisa memaknai kembali, melalui karya-karya ini.
Ruang cerpen yang sempit dijadikannya wahana yang intens namun tidak sesak untuk mengungkapkan apa yang tak selalu mampu dikatakan. Lewat refleksi dan monolog interior yang digarap dengan cakap dan jernih. pembaca diajaknya menjelajahi halaman-halaman kecil dalam cerpen yang kini dijadikannya semesta kehidupan.
Cerpen-cerpen Dee itu persis racikan kopi dari tangan seorang ahli peracik kopi: harum, menyegarkan, dan nikmat: pahit, tapi sekaligus mengandung manis.
-------------
"Filosofi Kopi" merupakan antologi cerita dan prosa pertama yang ditulis oleh Dee. Terdapat 18 judul yang ia tulis dalam kurun waktu sepuluh tahun (1995-2005). "Filosofi Kopi", yang diterbitkan Truedee Books bekerja sama dengan Gagas Media ini, memuat format cerita yang cukup beragam. Ada yang berupa prosa lirik, cerita pendek, dan cerita tidak terlalu pendek.
Cerita "Filosofi Kopi" yang diambil sebagai judul berkisah tentang seorang peramu kopi handal bernama Ben yang terobsesi untuk membuat ramuan kopi paling sempurna di dunia. Ben dan sahabatnya, Jody, memiliki kedai kopi terkenal bernama Filosofi Kopi. Namun Ben justru menemukan titik balik hidupnya di warung kopi sederhana yang tak bernama.
Adalah Budi Darma, sastrawan senior dari Surabaya, yang dengan tepat mengatakan bahwa benang merah dari semua karya dalam "Filosofi Kopi" adalah pencarian jati diri. Lewat kisah cinta insani seperti "Sepotong Kue Kuning" dan "Sikat Gigi", kisah cinta hewani yang diwakilkan oleh kecoak dalam "Rico de Coro", kisah cinta botani yang dihadirkan "Filosofi Kopi", juga surat-surat cinta seperti "Surat Yang Tak Sampai" dan "Saat Kau Lelap", tak ketinggalan renungan-renungan singkat dalam "Spasi", "Kunci Hati", "Salju Gurun", Dee meniti ulang jembatan-jembatan universal kemanusiaan, mencatatkannya dalam kumpulan cerita apik yang terpilih sebagai karya sastra terbaik tahun 2006 oleh majalah Tempo.
Pada tahun yang sama, "Filosofi Kopi" juga berhasil dinobatkan menjadi 5 Besar Khatulistiwa Award kategori fiksi, yang merupakan ajang sastra paling bergengsi di Indonesia.
Dewi Lestari Simangunsong yang akrab dipanggil Dee (lahir di Bandung, Jawa Barat, 20 Januari 1976) adalah seorang penulis dan penyanyi asal Indonesia. Lulusan jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan ini awalnya dikenal sebagai anggota trio vokal Rida Sita Dewi. Sejak menerbitkan novel Supernova yang populer pada tahun 2001, ia juga dikenal luas sebagai novelis.
Sebelum Supernova keluar, tak banyak orang yang tahu kalau Dee telah sering menulis. Novel pertamanya yang sensasional, Supernova Satu : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, dirilis 16 Februari 2001. Novel yang laku 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar ini banyak menggunakan istilah sains dan cerita cinta. Bulan Maret 2002, Dee meluncurkan "Supernova Satu" edisi Inggris untuk menembus pasar internasional dengan menggaet Harry Aveling (60), ahlinya dalam urusan menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris.
Sukses dengan novel pertamanya, Dee meluncurkan novel keduanya, Supernova Dua berjudul "Akar" pada 16 Oktober 2002. Novel ini sempat mengundang kontroversi karena dianggap melecehkan umat Hindu. Umat Hindu menolak dicantumkannya lambang OMKARA/AUM yang merupakan aksara suci BRAHMAN Tuhan yang Maha Esa dalam HINDU sebagai cover dalam bukunya. Akhirnya disepakati bahwa lambang Omkara tidak akan ditampilkan lagi pada cetakan ke 2 dan seterusnya.
Seumpama kopi, kumpulan cerpen Dee ini bagai kopi mix sachet 3 in one. enak, ringan, tak perlu pusing.
Gaya bahasanya ringan, enak dibaca, dan topik ulasan dari setiap cerpen yang ada didalamnya tak akan membuat dahi berkerut pusing. Barangkali satu-satunya yang akan membuat Anda berkerut adalah: bagaimana caranya si Dewi Lestari mendapatkan ide-ide segar dari sekedar biji kopi. Itupun kalau Anda tertarik pada proses kreatif penulisannya.
Tentu saja karya ini tidak terlalu sempurna juga, masih ada cacat celanya seperti ruang bicara yang terlalu sempit dan tidak memikat pembaca yang benci kopi atau mereka yang di desa, yang tidak tahu seberapa menariknya ngopi di starbucks bila dibandingkan dengan ngombe wedang kopi di angkringan pinggir jalan.
Menarik untuk dibaca sambil menemani Anda long weekend atau ngopi-ngopi.