Orang lebih banyak mengenal Todung Mulya Lubis sebagai pengacara yang sukses ketimbang penyair. Padahal puisi-puisinya telah muncul di media massa pada dekade 70-an, jauh sebelum publik mengenalnya sebagai praktisi hukum. Antologi puisi pertamanya, Pada Sebuah Lorong, terbit pada tahun 1968. Ia pun kerap muncul dalam pembacaan puisi dan forum sastra pada masa itu.
Aktivitasnya sempat terhenti ketika ia masuk dalam daftar cegah-tangkal (cekal) di era Orde Baru. Kini Todung Mulya Lubis kembali membukukan puisi-puisinya dengan judul Jam-jam Gelisah. Refleksi Penulis terhadap kesendirian, politik, kritik sosial, dan perjuangan hidup, tertera pada bait-bait puitis di dalam buku ini.
Menghabiskan masa kecl dan remaja di Pulau Sumatra. Selulus sekolah dasar di Jambi, ia melanjutkan ke sekolah menengah pertana di Pekanbaru, Riau, dan sekolah menengah atas di Medan. Kemudian ia hijrah ke Jakarta dan belajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Setelah itu ia melanjutkan ke Law School, University of California, Berkeley, USA dan Harvard Law School, Cambridge, Massachusetts, USA.Pengacara yang pernah masuk daftar cegah-tangkal di era pemerintahan Soeharti ini sangat tertarik pada dunia sastra. Saat dicekal ia dilarang tampil di berbagai forum. "Selama sekitar dua tahun saya tidak menulis, tidak mengajar, dan tidak ceramah," ungkap lelaki kelahiran 4 Juli 1949 di Muara Botung, Tapanuli Selatan ini.Selama menjadi mahasiswa, Todung aktif si sejumlah organisasi. Salah satunya adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Di lembaga swadaya masyarakat (LSM) ini ia belajar mengasah kepekaan hati nurani. Kemudian ia mendirikan the Law Office of Mulya Lubis and Partners pada tahun 1991 yang sekarang lebih dikenal dengan nama Lubis Santosa and Maulana Law Offices.