Dalam perang melawan akar masalah terorisme dan pengentasan masyarakat miskin di dunia, jelas tidak ada pilihan kecuali berpihak pada hati nurani, keadilan, kebenaran dan kejujuran. Pembenaran kekerasan dan kebencian atas dalih apa pun hanya akan meniadakan hati nurani bagaikan gerhana “menelan” matahari. Bila hati nurani berguguran bagaikan daun, walaupun hidup, manusia sebetulnya hanyalah robot yang hanya akan menjadi predator untuk manusia lain, akan memusnahkan kemanusiaan secara total. Untunglah muncul Musim Semi Arab sebagai berkah Tuhan untuk umat Timur Tengah kembali ke pencerahan Muhamad Iqbal yang di awal abad ke-20 menulis: “Di Barat ia menemukan napas dan nilai Islam sejati meski pemerintahnya non Muslim. Di Mesir, pemimpin yang nominalnya Islam malah tidak menghormati hak asasi dan harkat martabat manusia”, karena itu layak digulingkan oleh people power Arab Spring. Bangkitnya demokrasi Arab melawan tiraninya sendiri akan menghentikan gerhana hati nurani. Telah lahir suatu cakrawala baru manusia sedunia tanpa pembedaan atas agama, etnis, kelas, ras dan tribal primordial; melainkan kembali ke hati nurani sejati yang berkarakter universal right is right, wrong is wrong.
Buku ini bukanlah disertasi dan studi dengan footnotes, melainkan jurnal tentang segala peristiwa yang dialami penulis serta pandangan hidup penulis dalam merespons fenomena transformasi geopolitik pada peralihan abad ke-20 ke abad ke-21 dan peralihan milenium ke-2 ke milenium ke-3.
Christianto Wibisono, lahir di Semarang dari orangtua Oey Koan Gwe dan Lo Tjoan Nio, generasi Tionghoa peranakan yang tidak lagi berbahasa Cina melainkan Belanda, Indonesia, dan Jawa. Pada umur 100 hari hari selamat dari pemboman Sekutu di Zaman Jepang, yang membakar dapur rumah. Tapi ia beruntung masih bisa kembali ke rumahnya. Sedang di zaman Soeharto, dua cucunya nyaris tewas oleh "bom teror" rezim biadab Soeharto yang menembaki mahasiswa 12 Mei dan membiarkan penjarahan, pembakaran, pembunuhan, dan pemerkosaan selama 3 hari (13-15 Mei 1998) secara keji dan tidak berperikemanusiaan. Christianto melewatkan pendidikan dasar dan menengah di perguruan Katolik; Xaverius, Domenico Savio, dan Kolose Loyola - semuanya di Semarang. Pindah ke Jakarta ketika diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (FHIPK) pada tahun 1964. Berjumpa Nono Makarim dan melalui testing mengarang esei, ia menjadi aktivitas Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia. Sejak itu hobi dan karier serta profesi menyatu dalam dirinya yang selama 4 tahun menjadi anggota Redaksi Harian KAMI dari 1966-1970. Kembali ke kampus sejak 1974 dan menyelesaikan studi di FISIP UI tahun 1978 bersamaan dengan pembreidelan bukunya Wawancara Imajiner dengan Bung Karno. Buku ini dibreidel bersamaan dengan pembreidelan Kompas dan beberapa koran lain menjelang Sidang Umum MPR 1978. Ketika itu Dewan ...