IMPIAN, cita-cita* harapan, adalah aspek das solen, aspek ideal dari kehidupan
yang menawarkan cahaya, keindahan, dan kesempurnaan. Tak demikian halnya dengan kenyataan, realitas, yang tak selalu gemerlap, indah, bahkan kerap penuh aura kegelapan.
Impian dan harapan 23 tokoh nasional senior, yang telah menjalani hidup dalam tiga zaman: zaman kolonial Belanda diselingi Ing-gris, .zaman pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan, terangkum dalam buku ini. Me-lalui buku ini kita dapat belajar sejarah bangsa ini sekaligus menyelami kisah orang-orang yang terlibat dalam pergolakan.
Simak kisah Daoed JOESOEF yang mem-bakar semangat nasionalisme lewat cerita masa kecilnya, saat Belanda menolak dirinya membeli buah apel di Restoran Ter Meulen, hingga melahirkan mimpinya akan Indonesia yang bebas dari penjajahan. Bagaimana mimpi A.B. Lapian yang sejak muda mencita-citakan Indonesia merdeka dan menjadi negara adi-daya di laut? Semangat apa yang diperlukan untuk menciptakan negara entrepreneur ber-basis pendidikan menurut Ciputra? Simak juga cita-cita Emil Salim, Mely G. Tan, M.F. Siregar, Sayidiman Suryohadiprojo, hingga pakar ilmu pendidikan Winarno Surakhmad, Tilaar, dan tokoh-tokoh senior lainnya.
Merekalah "guru-guru keluhuran" yang mewariskan semangat, cita-cita, dan impian menuju Indonesiayanglebih maju. Patutdibaca oleh setiap generasi yang ingin membangun Indonesia Raya.
H. Rosihan Anwar (lahir di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922; umur 87 tahun) adalah tokoh pers Indonesia, meski dirinya lebih tepat dikatakan sebagai sastrawan bahkan budayawan. Rosihan yang memulai karier jurnalistiknya sejak berumur 20-an, tercatat telah menulis 21 judul buku dan mungkin ratusan artikel di hampir semua koran dan majalah utama di Indonesia dan di beberapa penerbitan asing.
Anak keempat dari sepuluh bersaudara putra Anwar Maharaja Sutan, seorang demang di Padang, Sumatera Barat ini menyelesaikan sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Ia pun melanjutkan pendidikannya ke AMS di Yogyakarta. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar negeri, termasuk di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat.
Rosihan telah hidup dalam 'multi-zaman'. Di masa perjuangan, dirinya pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukitduri, Jakarta Selatan. Kemudian di masa Presiden Soekarno koran miliknya, Pedoman pada 1961 ditutup oleh rezim saat itu. Namun di masa peralihan pemerintah Orde Baru, Rosihan mendapat anugerah sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama. Sayangnya rezim Orde Baru ini pun menutup Pedoman pada tahun 1974-kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang ...