Para tokoh pelopor bak obor yang terus
menyala menerangi perjalanan bangsa.
Di antara mereka ada nama-nama seperti
Hoegeng Iman Santoso yang selalu dikenang
sebagai polisi yang jujur dan lurus; Sumitro
Djojohadikusumo, bapak dan begawan ekonomi
Indonesia; Maria Ulfah Soebadio, perintis
perjuangan membela kaum perempuan;
B.M. Diah, politisi yang juga pelopor di bidang
pers nasional; hingga Miriam Budiardjo,
perempuan ilmuwan perintis disiplin ilmu
politik Indonesia.
*****
Tak semua nama masih bersinar terang.
Meski jasa dan pengabdian pada nusa dan
bangsa tak diragukan, sebagian tak lagi
dikenal generasi muda. Misalnya Mayor
Wibowo, pahlawan tak dikenal yang memimpin
perjuangan bersenjata di Jakarta melawan
Jepang, Inggris, dan Belanda di zaman revolusi
fisik. Demikian pula Saroso Wirodihardjo,
pengusaha yang berjuang menentang monopoli
di awal masa kemerdekaan.
*****
Buku ini berisi cerita-cerita tentang para
pelopor dalam pusaran sejarah bangsa. Ditulis
apa adanya, dengan tekanan pada sisi-sisi
kemanusiaan yang menyentuh, namun tetap
dengan gaya yang memukau khas Rosihan
Anwar. Dipersembahkan bagi kita semua,
dengan harapan menjadi sumber inspirasi yang
ikut menebalkan kembali rasa kebangsaan yang
tengah dilanda erosi dan distorsi.
H. Rosihan Anwar (lahir di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922; umur 87 tahun) adalah tokoh pers Indonesia, meski dirinya lebih tepat dikatakan sebagai sastrawan bahkan budayawan. Rosihan yang memulai karier jurnalistiknya sejak berumur 20-an, tercatat telah menulis 21 judul buku dan mungkin ratusan artikel di hampir semua koran dan majalah utama di Indonesia dan di beberapa penerbitan asing.
Anak keempat dari sepuluh bersaudara putra Anwar Maharaja Sutan, seorang demang di Padang, Sumatera Barat ini menyelesaikan sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Ia pun melanjutkan pendidikannya ke AMS di Yogyakarta. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar negeri, termasuk di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat.
Rosihan telah hidup dalam 'multi-zaman'. Di masa perjuangan, dirinya pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukitduri, Jakarta Selatan. Kemudian di masa Presiden Soekarno koran miliknya, Pedoman pada 1961 ditutup oleh rezim saat itu. Namun di masa peralihan pemerintah Orde Baru, Rosihan mendapat anugerah sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama. Sayangnya rezim Orde Baru ini pun menutup Pedoman pada tahun 1974-kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang ...