Ada yang bilang bahwa setiap anak yang lahir pasti membawa piring nasinya sendiri. Meski mengecewakan, harus diakui bahwa itu hanya ada di generasi zaman dulu. Pada generasi sekarang, anak tidak lahir dengan membawa piring nasinya sendiri. Anak harus belajar untuk bisa memilikinya.
***
Han Hee Seok adalah seorang ayah yang sangat mencintai keluarganya. Kehidupan mereka memang sulit, sewa rumah yang menunggak, hidangan sederhana di atas meja makan, sepatu sekolah anak-anak yang kian lusuh, hingga SPP yang tak terbayarkan. Namun ia tak pernah menyerah pada keadaan dan memilih melakoni hidupnya dengan penuh tawa.
Tawanya seketika berganti dengan keresahan yang amat sangat ketika putri sulungnya, Geoul, menginjak bangku SMP. Rapornya penuh angka merah, jauh di bawah standar nilai teman-temannya yang lain. Geoul sering mengeluh bahwa ia satu-satunya siswa yang tidak mengikuti kursus. Padahal persaingan mendapat nilai terbaik benar-benar berat. Ibarat kaki yang terlambat melangkah, tidak mungkin lagi jadi “yang teratas”.
Meski sulit, Han Hee Seouk tak mau jadi ayah yang mewariskan kemiskinan. Ia bertekad menjadi “pelatih” yang memicu semangat Geoul. Mereka berlari bersama layaknya marathon, mempertahankan kecepatan dan berusaha fokus pada tujuan. Tapi kali ini, hubungan antara ayah dan anak pun ikut diuji. Hingga Han Hee Seouk kembali bertanya-tanya, sudahkah ia menjadi ayah yang baik bagi putrinya?
TENTANG PENULIS
Han Hee Seok merupakan anak bungsu dari 2 saudara laki-laki dan 3 saudara perempuan yang berasal dari keluarga miskin di Beolgyo, provisni Jeolla selatan. Ketika SMA, dia tidak belajar sama sekali dan sering membuat masalah. Ia mulai memupuk impiannya menjadi seorang penulis ketika salah satu gurunya membaca tulisan permintaan maaf yang ditulis 16 baris sebanyak 10 lembar. Sang guru mengatakan, “Kau tidak pandai, tapi tulisanmu luar biasa.”
Kata-kata itulah yang menjadi semangat baginya dan suatu hari dalam kemiskinan keluarganya, ia bertekad menjadi penulis novel. Dulu ia adalah seoraang ayah yang egois yang tidak mempedulikan hal lain selain tulisan dan minuman keras. Namun demi anak perempuan sulungnya yang masuk ke SMP, ia mulai berhenti minum, merokok, dan memutuskan menjadi pelatih belajar bagi anak-anaknya. Han mulai mempraktikkan pendidikan 100% tanpa tempat kursus.
Ia berhasil menaikkan peringkat anaknya dari peringkat 27 ketika kelas 1 SMP, menjadi peringkat 1 dari seluruh kelas di kelas 2 SMP. Sang anak pun diterima di Universitas Korea jurusan manajgemen di bagian Screening State. Han bahkan sampai mendudukkan anaknya yang tadinya sangat terbebani dengan belajar di depan meja, dan mengajari anaknya cara belajar yang menyenangkan dan unik. Semua pengalaman tersebut dituangkan dalam buku ini.
Parent With No Property meraih penghargaan terbaik dari Departmen Pendidikan dalam “Kontes contoh pendidikan anak yang sukses tanpa menggunakan pendidikan khusus”.