Sore itu, saat Jakarta baru saja hujan, koper-koper besar telah terisi penuh. Sahabat saya itu benar-benar telah siap berangkat. Perasaan kami menajdi sedikit melankolis. Tentu kami bergembira akan keberangkatannya ke Eropa, tetapi perpisahan untuk waktu yang lama membuat kami bersedih juga.
“Surel dariku akan menghujanimu!”
“Kita akan berkontak lewat Skype!”
“Aku akan menyusulmu ke sana!”
“Tentu saja kau akan menyusulku, tinggal naik Kopaja!” Kami pun terkikik-kikik.
“Tuliskanlah untukku kisah-kisah perjalananmu di sana. Ceritakanlah tentang bunga tulip, tentang jalan yang dilalui Jesse dan Celine di film Before Sunset, atau tentang rumah para vampir di Rumania,” pintan saya.
“Tuliskan juga kepadaku kisah-kisah petualanganmu. Tentang senja-senja terbaik yang kau lihat, juga tentang kawanmu yang ganjil itu, si Arip Syaman,” pintanya.
The Dusty Sneakers pun dimulai. Lewat kata, Gypsytoes dan Twosocks berusaha memaknai setiap perjalanan, dan tentu saja, menjembatani jarak yang jauh di antara mereka.
Catatan dari Paris yang bercahaya menyapa renungan di titik nol di Merauke. Pekat malam puncak Merapi larut bersama sudut misterius Kota Praha. Sipirus yang berwarna biru mengisi wajah Bali yang muruh sebelah. Ini adalah kisah-kisah si gadis petualang kutu buku dan si pemuda melankolis yang terkadang jenaka. Kisah yang menggantikan bincang-bincang mereka di antara bercangkir-cangkir teh dan kopi, kisah kawan di ujung sana.
Awalnya saya pikir buku ini akan sangat membosankan, makanya saya tidak kunjung selesai membacanya. Tetapi, ketika suatu hari saya memutuskan untuk 'sungguhan' membacanya, maka saya mulai tenggelam dengan gaya penuturan Gypsytoes dan terperangkap di masa lalu Twosocks tentang Bali-nya. Sangat menginspirasi dan membuat pembaca ingin mengunjungi destinasi traveling mereka juga. Are you a traveler? Buy this book!