LELAKI cadel itu tak per nah bisa melafalkan huruf “r” dengan sempurna. Ia “cacat” wicara tapi di ang gap ber ba ha ya. Rambutnya lusuh. Pakaiannya kumal. Cela na nya se perti tak mengenal sabun dan setrika. Ia bu kan bu rung merak yang mem pesona.
Namun, bila penyair ini membaca puisi di te ngah bu ruh dan mahasiswa, aparat memberinya cap seba gai agi tator, peng hasut. Selebaran, poster, stensilan, dan buletin propa ganda yang ia bikin tersebar luas di kalangan bu ruh dan petani. Ke giat annya mendidik anak-anak kam pung di anggap meng ge rak kan ke ben cian terhadap Orde Ba ru. Maka ia dibungkam. Dilenyapkan.
Wiji Thukul mungkin bukan penyair paling cemer lang yang pernah kita miliki. Sejarah Republik me nun jukkan ia juga bukan satu-satunya orang yang men jadi korban penghi langan paksa. Tapi Thukul ada lah cerita penting dalam seja rah Orde Baru yang tak patut diabaikan: se orang penyair yang sajak-sa jak nya menakutkan sebuah rezim dan kematiannya hingga kini jadi misteri.
Kisah tentang Wiji Thukul adalah jilid perdana seri “Prahara-prahara Orde Baru”, yang diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Ming gu an Tempo Mei 2013. Serial ini menyelisik, menyingkap, me re kon struksi, dan mengingat kembali berbagai peristiwa gelap ke manusiaan pada masa Orde Baru yang nyaris terlupakan.