Setelah lebih dari 30 tahun terus didengung-dengungkan, dipolitisasi dalam rangka melestarikan kekuasaan Orde Baru, Pancasila kini seperti makanan basi. Kejenuhan pada Pancasila membuatnya kian jarang diwacanakan, apalagi dikaji dengan mendalam.
Sejak awal era Reformasi, makin banyak yang tak menyadari, bagaimana pun Pancasila adalah dasar negara yang menjadi sumber inspirasi jati diri bangsa Indonesia. Tanpa Pancasila, negara dan bangsa ini ibarat kapal tanpa kompas yang tengah berlayar di samudra luas tanpa tujuan jelas.
Sulastomo mengingatkan kembali arti dan peran Pancasila yang tak tergantikan. Buku ini menghidupkan lagi wacana tentang bagaimana Pancasila seharusnya diamalkan dan dijadikan rujukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Eksponen Angkatan ’66 ini merupakan salah seorang dari segelintir anak bangsa yang risau bahwa generasi penerus bakal benar-benar melupakan semangat Pancasila dan UUD 1945.
Sulastomo, lahir di Surabaya, 6 Agustus 1938. Pendidikan dokter diperoleh di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1964). Tugas pertama yang diembannya adalah "Doktor Sukarelawan Dwikora" di Aceh. Di Aceh, Sulastomo juga menekuni pemberantasan Tuberkulosis, dan untuk itu ia terlibat dalam merintis berdirinya Balai Pemberantasan Penyakit Paru-Paru (BP4). Sepulang dari Aceh, ia melanjutkan menekuni Tuberkulosis, bertugas sebagai doktor di Urusan Pemberantasan Tuberkulosis dan kemudian menjabat Kepala Urusan Pemberantasan Penyakit Paru-PAru , Dinas Kesehatan DKI Jaya (1969). Pada kesempatan inilah, Sulastomo memperoleh kesempatan mempelajari TBC, antara lain mengikuti pendidikan TBC di Recearch Institute of Tuberculosis, Tokyo, Jepang (1967), pendidikan tentang pemberantasan tuberkulosis yang diselenggarakan oleh WHO di Praha (1972). Beliau ikut merintis berdirinya PPTI ( Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Tuberkulosa Indonesia) pada tahun 1968 dan kemudian menjadi Sekretaris Umum PPTI sejak 1968 sampai 1992.