Dengan iba Sita mengulurkan kendi berisi air minum untuk pertapa tua yang lemah dan renta itu. Aku tidak melanggar pesan Laksmana dan tidak keluar dari lingkaran sakti ini. Aku hanya mengulurkan tanganku, katanya dalam hati. Pertapa tua itu menyambut kendi yang diulurkan Sita dan… tiba-tiba ia berubah menjadi raksasa bertubuh besar dan berwajah sepuluh: Dasamuka. Dengan tangkas Dasamuka menarik Sita keluar dari lingkaran sakti yang melindunginya lalu menerbangkannya ke Alengka. Sita hanya bisa menangis dan menyesali kecerobohannya. Mengapa aku meragukan kesaktian Rama dan mengira ia menjerit meminta tolong? Mengapa aku tidak memercayai ketulusan Laksmana dan menuduhnya ingin mendapatkan diriku dengan membiarkan Rama mati?
Epos Ramayana adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang diadaptasi dari khazanah sastra klasik India. Epos yang sudah berabadabad dikenal di Indonesia dalam bentuk kakawin, relief Candi Prambanan, atau taria-tarian ini, ditulis kembali oleh Nyoman S, Pendit, penulis Mahabharata (Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2015, cetakan ketujuh) dengan gaya bertutur yang memikat dan enak dibaca.
Nyoman S. Pendit, lahir di Pulau Dewata, tepatnya di Tabanan pada tanggal 26 Juli 1927 dan menyelesaikan pendidikan terakhir di Visva Bharati University, Santiniketan, India. Penulis sangat produktif menulis buku dan artikel tentang seni budaya, falsafah, agama Hindu dan pariwisata. Disamping di kenal sebagai penulis, wartawan dan terlebih sebagai tokoh penting agama Hindu di Indonesia, pada masa perang kemerdekaan penulis ikut aktif berjuang. Pada tahun 1945-1949, penulis pernah bertugas sebagai Letnan Tentara Pelajar Sunda Kecil, Cie Staf Timur Men Ngurah Rai, dan pada tahun 1949-1954 menjadi Ketua Umum Gerakan Tentara Pelajar Pejuang Sunda Kecil. Di usianya yang sudah hampir tiga perempat abad, Nyoman S. Pendit masih bugar dan tak henti menuangkan buah-buah pikirannya di dalam berbagai tulisan.