Coronavirus tidakpunyakesalahandandosaapapun. Iabukanmakhlukpikirandanhati yang punyakemungkinanuntukberniatsesuatu, merancangkebaikanataukeburukan,
menyatakandukunganatauperlawananataskehidupanumatmanusia di mukabumi. Covid-19
bukanbagiandariJinatauManusia, yang di ujung zaman
kelakharusmempertanggungjawabkanperilakunya di forum Hisab Allah. Corona dipancing,
dirangsangdandirekayasasendiriolehbudayamanusia, olehilmunya yang angkuh,
olehpengetahuannya yang congkakdanolehperadabannya yang penuhkibriya`.
***
Melalui buku ini, Emha Ainun Nadjib, membukaruangnya untuk berbagi kegelisahan serta refleksi
atas munculnya pandemi yang telah menguasai dunia.
Buku ini melibatkan banyak hal yang terjadi selama masa pandemi, dan menyinggung permasalahan
terkait di dalamnya. Hingga akhirnya menjurus pada satu pertanyaan penting bagi kita. Apa pelajaran
yang sudah dipetik dari fenomena yang kelak menjadi bagian sejarah itu?
Emha Ainun Nadjib,lahir di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 27 Mei 1953, sebagai anak keempat dari 15 bersaudara. Ia mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor dan meneruskan ke Universitas Gadjah Mada (hanya sebentar). Pada 1970 - 1975 hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi. Dan pernah menjadi redaktur harian Masa Kini (Yogyakarta), pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Ia mengikuti berbagai festival puisi antara lain di Belanda dan Jerman. Karyanya yang diterbitkan Gramedia adalah Trilogi Doa Mencabut Kutukan.